Mengenang Rufinus Tigau: Pelayan Setia Tanah Papua

Mengenang Rufinus Tigau: Pelayan Setia Tanah Papua


Siapa yang masih ingat Rufinus Tigau? Kalau kamu bertanya kepada banyak orang di luar Papua, jawabannya mungkin akan membuat hati miris: hampir tak ada yang tahu. Bahkan di dalam gereja sendiri, namanya nyaris tak pernah disebut dalam misa atau doa resmi. Padahal, Rufinus bukan sekadar nama. Dia adalah saksi hidup dari sebuah kisah pilu dan penuh kontroversi di tengah konflik Papua yang tak kunjung usai.

Rufinus Tigau, seorang katekis Katolik muda berusia 28 tahun dari Keuskupan Timika, gugur di tangan aparat keamanan dalam sebuah operasi di Intan Jaya pada 26 Oktober 2020. Ia adalah pelayan iman yang berjuang dalam keadaan yang sangat sulit, namun justru namanya dibungkam dalam doa-doa resmi dan cerita sejarah Gereja di tanah air.


Dedikasi Pelayanan Rufinus Tigau

Rufinus Tigau dikenal umat keuskupan Timika sebagai sosok yang sangat berdedikasi dalam melayani komunitasnya di Papua. Sebagai katekis Katolik muda, ia tidak hanya mengajarkan ajaran iman, tetapi juga menjadi penghubung penting antara gereja dan masyarakat adat yang sering menghadapi tantangan sosial dan politik yang berat. Dedikasinya tercermin dalam keberanian dan ketulusan hati untuk tetap melayani meskipun berada dalam situasi yang penuh risiko dan ketidakpastian. Pelayanan Rufinus menjadi teladan bagi banyak orang, menunjukkan bahwa iman yang hidup harus diwujudkan dalam tindakan nyata demi perdamaian dan keadilan.


Siapa yang Membunuh Rufinus Tigau?

Ini bukan sekadar pertanyaan retoris. Siapa sebenarnya yang membunuh Rufinus? Dalam narasi resmi yang dilansir aparat dan media nasional, Rufinus disebut sebagai bagian dari “Kelompok Kriminal Bersenjata” (KKB), Tuduhan ini seperti cambuk tajam yang memudarkan kemanusiaan Rufinus menjadi sekadar label kriminal.

Namun, siapa yang sudah melihat bukti-bukti konkret atas keterlibatan Rufinus? Apakah benar dia terlibat dalam kekerasan bersenjata, ataukah ia korban salah sasaran dan permainan politik yang lebih besar? Banyak pihak, termasuk Keuskupan Timika dan organisasi kemanusiaan, menolak narasi ini dan menegaskan bahwa Rufinus adalah korban yang tak berdosa, seorang katekis yang justru melayani komunitasnya.


Kontroversi: Kardinal Suharyo dan Menkopolhukam yang Membisu

Pada masa itu, ketika kasus Rufinus mengemuka, dua figur penting hadir dalam sorotan: Kardinal Ignatius Suharyo, Uskup Agung Jakarta, dan Profesor Dr. Mahfud MD, Menko Polhukam saat itu. Harapan banyak orang, terutama umat Katolik dan masyarakat Papua, bahwa Gereja dan pemerintah akan bertindak tegas menuntut keadilan bagi Rufinus dan membuka penyelidikan yang transparan.

Namun nyatanya, kisah Rufinus justru tenggelam dalam keheningan yang membingungkan. Kardinal Suharyo, yang mestinya menjadi suara Gereja untuk membela martir-martir iman, tidak mengangkat nama Rufinus dalam doa-doa resmi dan belum ada sikap tegas yang muncul. Demikian pula Menko Polhukam, yang mestinya bertanggung jawab atas keamanan dan penegakan hukum, juga tampak bungkam dan tak ada kelanjutan serius atas kasus ini.

Keheningan itu memicu banyak pertanyaan: Mengapa Gereja dan negara memilih diam? Apakah ada kepentingan politik dan keamanan yang lebih besar sehingga kebenaran tentang Rufinus harus disembunyikan? Bukankah martir harus didukung, bukan dibiarkan hilang dalam gelap?


Tuduhan KKB: Label yang Terlalu Mudah Dilempar

Mengapa Rufinus begitu mudah dicap sebagai anggota KKB? Label ini seolah-olah menjadi tameng bagi aparat untuk membenarkan tindakan keras yang mereka lakukan tanpa perlu proses hukum yang transparan. Dalam konteks Papua yang penuh ketegangan, menuduh seseorang sebagai KKB sudah seperti senjata pamungkas untuk menutup rapat-rapat kebenaran dan menghilangkan korban tanpa keadilan.

Rufinus, yang dikenal sebagai katekis dan pelayan iman, bukanlah sosok yang secara terbuka mengangkat senjata. Namun di mata aparat dan media tertentu, narasi “KKB” cukup untuk menghapus sisi kemanusiaannya, menghilangkan kisah tentang panggilan iman dan pengabdian yang ia jalani.


Martir: Dari Makna “Martyrios” Bahasa Yunani hingga Realita Rufinus

Kata martir berasal dari bahasa Yunani martyrios, yang berarti “saksi.” Seorang martir sejati adalah mereka yang berani menjadi saksi atas kebenaran dan iman, meski harus berhadapan dengan kematian. Rufinus Tigau, meskipun namanya tak pernah digaungkan dalam misa, adalah martyrios yang sesungguhnya. Ia adalah saksi hidup yang berani menegakkan iman di tengah gelombang kekerasan, ketidakadilan, dan kesunyian yang meliputi tanah Papua.

Dalam pernyataan publik bulan November 2020, Keuskupan Timika menyatakan duka mendalam sekaligus menegaskan bahwa Rufinus adalah pelayan pastoral, bukan anggota kelompok bersenjata, dan menyerukan agar proses hukum terhadap peristiwa penembakan dilakukan secara independen, jujur, dan transparan.


Penghormatan dari Œuvres Pontificales Missionnaires (OPM) Prancis

Rufinus Tigau mendapat pengakuan internasional sebagai salah satu misionaris martir dalam perayaan 'Journée de prière pour les missionnaires martyrs' (Hari Doa untuk Para Misionaris Martir) yang diselenggarakan setiap tanggal 24 Maret oleh Œuvres Pontificales Missionnaires (OPM) Prancis, sebuah organisasi Kepausan Gereja Katolik yang mendukung dan mendoakan para misionaris serta mempromosikan karya misi Gereja di seluruh dunia.

Penghormatan ini merupakan bentuk apresiasi dari Gereja Universal atas pengorbanan Rufinus dalam pelayanan iman di Papua, serta mengingatkan pentingnya mendoakan mereka yang telah menyerahkan hidupnya demi misi kemanusiaan dan keagamaan di wilayah konflik. Pengakuan ini mengangkat nama Rufinus agar tetap dikenang sebagai saksi iman yang berani dan setia.

Sumber: Œuvres Pontificales Missionnaires, journée de prière pour les missionnaires martyrs, 2023.

https://www.opm-france.org/actualite/journee-de-priere-pour-les-missionnaires-martyrs/


Siapa yang Masih Ingat Rufinus Tigau?

Keheningan yang menyelimuti nama Rufinus bukan hanya masalah lupa atau kelalaian, melainkan cermin dari kenyataan pahit yang membungkam banyak suara Papua. Kisahnya yang penuh luka adalah panggilan bagi kita semua untuk membuka mata, hati, dan suara kita. Jangan biarkan pengorbanan Rufinus menjadi abu yang tersebar tanpa arah. Mari kita hidupkan ingatannya, perjuangkan keadilan dan damai yang sejati bagi Papua.


Martir dan Saksi Sejati yang Terbungkam

Rufinus Tigau bukan sekadar korban kekerasan; ia adalah martyrios, saksi iman yang berani berdiri di tengah badai ketidakadilan. Meski namanya tak pernah terdengar dalam doa dan liturgi resmi, pengorbanannya adalah panggilan yang menggetarkan hati setiap orang beriman.

Rufinus bukanlah satu-satunya martir di Tanah Papua; ada juga Pendeta Yeremia Zanambani, Frater Zhage Silvester, dan banyak lagi sosok pahlawan iman yang telah mengorbankan nyawa mereka demi pelayanan dan keadilan di tanah ini.

Kita diingatkan bahwa menjadi saksi sejati berarti bersuara meski dunia ingin membungkam, berdiri teguh meski nyawa taruhannya, dan melawan ketidakadilan dengan keberanian iman. Rufinus sudah menunjukkan jalan itu. Kini giliran kita untuk memastikan ia tidak hilang dalam lupa dan keheningan.


Catatan: Artikel ini tidak bertujuan untuk menyudutkan pihak manapun, melainkan sebagai bentuk penghormatan kepada Rufinus Tigau dan ajakan untuk bersama-sama mencari solusi damai dan adil di Papua.

Comments