Otonomi Khusus Papua: Gagal sebagai Resolusi Politik, Berujung pada Krisis Kemanusiaan
Otonomi Khusus Papua: Gagal sebagai Resolusi Politik, Berujung pada Krisis Kemanusiaan
Dua puluh lima tahun reformasi demokrasi di Indonesia tidak menghentikan praktik kekerasan negara di Papua. Sejak integrasi yang dipaksakan melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, Papua tetap menjadi ruang eksklusi politik, represi militer, dan kekerasan struktural oleh negara.
Walaupun Otonomi Khusus (Otsus) diberlakukan sejak 2001 sebagai solusi politik dan pembangunan, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan ini gagal memenuhi tujuan dasarnya: melindungi, memberdayakan, dan memajukan Orang Asli Papua (OAP).
Kegagalan Sistemik Otonomi Khusus
Secara normatif, Otsus Papua menjanjikan affirmative action dalam bentuk kebijakan perlindungan dan pemberdayaan. Namun, implementasinya justru menyimpang dari semangat awal. Dana besar yang digelontorkan selama lebih dari dua dekade tidak disertai dengan reformasi kelembagaan, legislasi lokal berbasis perdasus yang substansial, ataupun partisipasi bermakna masyarakat Papua.
Sebaliknya, pendekatan pembangunan dilakukan secara top-down dan eksploitatif, melanggengkan struktur kolonialisme internal di mana elite lokal dan pemerintah pusat menjadi aktor utama yang mengkonsolidasikan kuasa, bukan keadilan.
Rezim Kekerasan dan Teror Sistemik
Otonomi Khusus tidak menghentikan kekerasan negara, bahkan membungkusnya dengan legitimasi administratif. Sepanjang Otsus berlangsung, masyarakat sipil, aktivis HAM, jurnalis, akademisi, mahasiswa, bahkan pejabat Papua yang kritis, menjadi korban pembungkaman sistematis:
1. Kekerasan terhadap warga sipil dan tokoh politik
- Pembunuhan Theys Hiyo Eluay (2001) menjadi simbol awal kegagalan Otsus.
- Riset mencatat 217 kasus kekerasan yang menewaskan 584 orang (2001–2020). Pelaku dominan berasal dari aparat (TNI/Polri), sementara korban terbanyak adalah Orang Asli Papua.
2. Pembungkaman ruang demokrasi
- 251 aksi damai dibubarkan secara represif dengan 11.825 orang ditangkap (2000–2020).
- 276 kasus penyiksaan terjadi antara 2000–2018.
- Tahanan politik tercatat mencapai 542 orang (1970–2019).
3. Represi terhadap kebebasan pers
- 104 jurnalis diintimidasi atau diserang; 77 kasus pelarangan jurnalis asing meliput Papua.
- Media lokal bekerja dalam bayang-bayang stigma separatis dan pengawasan intelijen.
4. Militerisasi dan demografi sebagai alat kolonisasi
- Peningkatan signifikan kehadiran militer dan migran sejak 2001.
- Proporsi penduduk non-Papua melonjak dari 2% (1959) menjadi 48% (2011), menciptakan ketidakseimbangan etno-demografis.
Pengungsian dan Krisis Kemanusiaan
Selama era Otsus, operasi militer terus terjadi dan memicu eksodus besar-besaran:
Operasi di Wasior (2001), Wamena (2003), Paniai (2014), hingga Nduga (2018–kini) menimbulkan pengungsian besar.
Diperkirakan 100.000 orang telah dan sedang mengungsi karena operasi militer.
Kejahatan Lingkungan dan Ekonomi Eksploitatif
Papua memiliki 38% hutan tropis Indonesia, namun deforestasi masif terjadi:
Dalam 20 tahun terakhir, 663.433 ha hutan hilang; 71% terjadi antara 2011–2019, terutama di bawah administrasi Presiden Jokowi.
Perusahaan sawit, tambang, dan pembangunan infrastruktur militer menjadi pemicu utama kerusakan ekologis, yang juga mengancam kehidupan masyarakat adat.
Menuju Pemusnahan Etnis?
Indikasi genosida kultural dan fisik terhadap Orang Papua mulai diakui secara akademik dan politik:
Studi Yale Law School (2003) menyebutkan 100.000 korban, dan menilai tindakan Indonesia dapat dikategorikan sebagai genosida.
Tokoh lain seperti Tom Beanal (600.000 korban), Benny Wenda (500.000 korban), dan Jakobus Dumupa (1,5 juta) memberikan estimasi yang mengerikan.
Rasisme negara terhadap Papua semakin vulgar dalam bentuk ujaran kebencian, pemblokiran ruang publik, dan stigma sistemik.
Seruan untuk Jalan Demokratis
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, dapat disimpulkan bahwa:
1. Otonomi Khusus gagal total sebagai resolusi politik maupun pembangunan.
2. Indonesia terus memperlakukan Papua sebagai wilayah kolonial yang harus dikendalikan, bukan sebagai subjek demokratis yang bermartabat.
3. Masyarakat dan alam Papua berada dalam krisis multidimensional—kemanusiaan, ekologi, sosial, dan politik.
4. Solusi damai dan demokratis adalah memberikan rakyat Papua hak untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) sesuai prinsip-prinsip hukum internasional.
5. Komunitas internasional perlu menghentikan dukungan terhadap skema Otsus dan mendorong mekanisme resolusi yang adil melalui intervensi diplomatik dan pengawasan hak asasi manusia.
Waa… waa… waa…!
Papua tidak akan hilang dalam diam.
Comments
Post a Comment