Pembangunan di Papua: Proyek Kolonial Berbalut Nasionalisme

Markus Haluk, Sekretaris Eksekutif ULMWP, 2025. 

Apakah pembangunan selalu berarti kemajuan? Apakah pembangunan yang dipaksakan tanpa mendengar suara rakyat dapat disebut sebagai solusi? 

Di tanah Papua—wilayah yang terus diperjuangkan rakyatnya sebagai tanah leluhur yang dirampas melalui kekerasan, manipulasi politik, dan operasi militer—kata “pembangunan” telah menjadi senjata lain dalam deretan panjang penindasan.

Pemerintah Indonesia, yang selalu mengklaim bahwa Papua adalah “bagian sah dari NKRI,” kembali menunjukkan wajah kolonialismenya melalui proyek food estate di Merauke. Dengan dalih ketahanan pangan nasional, Jakarta berencana membuka dua juta hektare lahan pertanian di atas tanah adat orang Marind, salah satu suku asli Papua. Tanpa persetujuan, tanpa partisipasi, dan tanpa rasa hormat.

Proyek ini bukan sekadar proyek gagal sejak awal. Ini adalah proyek yang sejak dini dibangun di atas kebohongan dan kesombongan kekuasaan. Pemerintah pusat, dalam logika yang diajarkan oleh para teknokrat di ibu kota, percaya bahwa satu-satunya jalan menuju kemajuan adalah melalui skema pertanian industri berskala besar—seolah-olah masyarakat Papua tidak punya sistem pangan sendiri yang telah bertahan selama ribuan tahun. Seolah-olah peradaban hanya dimulai dari sawah dan traktor, bukan dari hutan dan sungai.

Dalam bukunya yang berpengaruh "Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed" (Yale University Press, 1998), James C. Scott menjelaskan bagaimana negara-negara modern cenderung menyederhanakan realitas sosial yang kompleks demi kemudahan administrasi dan kontrol. Mereka mengabaikan keragaman lokal dan menggantinya dengan sistem teknokratis yang seragam. Hasilnya, bukan keberhasilan pembangunan, melainkan kehancuran ekologi dan sosial yang sistemik. Proyek food estate di Merauke adalah contoh klasik dari kegagalan ini.

Papua bukan Jawa. Masyarakat Papua bukan petani padi, melainkan pemburu, peramu, dan pengelola ekosistem hutan tropis yang kompleks dan sakral. Makanan pokok mereka adalah sagu—pohon kehidupan yang tumbuh tanpa pupuk kimia, tanpa racun, dan tanpa menebang hutan. Tapi apa yang dilakukan negara? Negara datang dengan buldoser, investor, dan militer. Negara datang bukan untuk mendengar, melainkan untuk mengambil. Untuk merampas. Untuk mengubah tanah leluhur menjadi ladang investor.

Ini bukan pembangunan. Ini kolonialisme dengan wajah baru!

Negara Indonesia mewarisi model pembangunan otoriter yang tidak pernah bisa lepas dari cara berpikir kolonial Belanda: bahwa wilayah timur itu “terbelakang,” “kosong,” “tidak produktif”—dan karenanya harus “dimodernisasi.” Ironisnya, semua ini dilakukan atas nama Pancasila, keadilan sosial, dan persatuan. Tapi bagaimana bisa ada keadilan ketika tanah diambil tanpa persetujuan? Bagaimana bisa ada persatuan ketika yang satu menindas dan yang lain dibungkam?

Proyek food estate bukan sekadar ancaman ekologis. Ia adalah penghancur identitas. Ia menghapus hubungan sakral antara manusia Papua dan alamnya. Ia mengubah hutan menjadi komoditas, dan manusia menjadi buruh murah bagi sistem yang tidak mereka ciptakan. Lebih dari itu, proyek ini hanyalah lanjutan dari deretan panjang kebijakan Jakarta yang gagal: transmigrasi, militerisasi, eksploitasi tambang Freeport, dan pemekaran wilayah yang memecah belah masyarakat adat.

Pemerintah pusat sering berbicara tentang “merangkul Papua.” Tapi bagaimana mungkin merangkul seseorang yang terus-menerus dipukul, dilukai, dan diabaikan? Cinta tanpa keadilan adalah bentuk lain dari kekerasan.

Sudah saatnya publik Indonesia bertanya: untuk siapa pembangunan ini sebenarnya? Siapa yang benar-benar diuntungkan? Apakah rakyat Papua, atau para elite yang duduk di ruang ber-AC dan membuat keputusan tanpa pernah menginjakkan kaki di tanah yang mereka hancurkan?

Rakyat Papua tidak menolak pembangunan. Tapi mereka menolak pembangunan yang menghancurkan. Mereka menolak pembangunan yang datang bersama senjata. Mereka menolak pembangunan yang menganggap mereka sebagai “penghambat kemajuan.” Sebab dalam logika penjajahan, yang membela tanahnya selalu dianggap sebagai ancaman.

Hari ini, suara masyarakat adat Papua sering kali dibungkam. Tapi dunia harus tahu: di balik hutan yang dibakar, di balik tanah yang dikapling untuk sawah dan sawit, ada perlawanan. Ada jeritan. Ada doa. Dan ada tekad yang tidak akan pernah padam: bahwa suatu hari, tanah ini akan bebas dari segala bentuk kolonialisme—baik yang berseragam militer, maupun yang memakai jas pembangunan.

Papua tidak butuh food estate. Papua butuh keadilan, pengakuan, dan kedaulatan atas tanahnya sendiri!

Comments