UUD 1945 dan Papua: Menyongsong Hak Kewarganegaraan yang Sejati

UUD 1945 dan Papua: Menyongsong Hak Kewarganegaraan yang Sejati

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.”

(Pembukaan UUD 1945)

Kalimat ini merupakan landasan moral dan etika utama Republik Indonesia. Ia lahir dari pengalaman pahit bangsa yang terbelenggu selama berabad-abad oleh penjajahan, sekaligus dari tekad kuat untuk bangkit sebagai bangsa merdeka yang membebaskan diri dan menjadi mercusuar harapan bagi dunia.

Namun, lebih dari tujuh dekade kemudian, gema kemerdekaan itu masih terasa jauh di sebagian wilayah negeri ini—khususnya di tanah Papua.

Setiap tahun kita merayakan HUT kemerdekaan dengan gegap gempita, namun sebagian saudara kita di timur masih hidup dalam bayang-bayang rasa takut, kehilangan, dan keterasingan. Apakah kemerdekaan itu sudah benar-benar menjadi milik semua anak bangsa?


Hari Ketika Segalanya Berubah

Pastor Frans Lieshout OFM, seorang misionaris Katolik asal Belanda yang hidup bersama masyarakat Papua sejak masa transisi, menulis dengan jujur tentang kesan yang ia tangkap saat pasukan Indonesia tiba pertama kali:

“Hari ketika tentara Indonesia pertama kali mendarat, anak-anak menangis, orang dewasa melarikan diri ke hutan. Kami sadar, ini bukan pembebasan—ini pergantian kekuasaan yang membawa ketegangan.”

Kesaksian ini membantu kita memahami bahwa awal mula integrasi tidak selalu dimaknai sama. Di banyak tempat, ia tidak disambut dengan sukacita, melainkan dengan kebingungan dan ketakutan. Sebuah babak baru dimulai tanpa dialog, tanpa tanya: apa yang kalian rasakan? apa yang kalian butuhkan?


Memori yang Dilenyapkan

Satu hal yang sering terlupakan dalam percakapan tentang Papua adalah lenyapnya memori kolektif. Sejumlah catatan sejarah lokal, dokumen pendidikan misi, laporan antropologi, dan arsip adat yang dahulu disimpan di sekolah-sekolah gereja, dibakar atau dihapuskan pada masa-masa awal integrasi. Banyak dari dokumen itu mengandung jejak identitas budaya dan sejarah Papua yang berharga.

Ketika memori itu dilenyapkan, generasi berikutnya tumbuh tanpa cermin untuk mengenal diri. Penghapusan arsip bukan sekadar hilangnya kertas-kertas tua—melainkan luka dalam narasi suatu bangsa yang belum sempat menyusun dirinya sendiri. Ia adalah hilangnya hak untuk mengingat.


Luka yang Belum Sembuh

Pastor Franz Magnis-Suseno dalam tulisannya “Papua: Luka dalam Tumbuhnya Bangsa Indonesia” menyampaikan dengan jujur:

“Papua adalah luka dalam tubuh bangsa Indonesia. Luka yang tidak sembuh karena belum ditangani dengan cara yang tepat.”

Kata-kata ini menohok, namun perlu. Ia mengingatkan kita bahwa selama luka itu dibiarkan, selama tidak ada kesediaan untuk mendengar jeritan yang tertahan, maka kita akan terus membangun rumah di atas fondasi yang retak.


Pembangunan yang Tak Selalu Menyentuh

Tak bisa dipungkiri, Papua mengalami pembangunan infrastruktur: jalan raya, bandara, sekolah, rumah sakit. Namun pembangunan bukan hanya soal fisik seperti beton dan aspal, tetapi juga melibatkan rasa memiliki, partisipasi aktif, dan penghargaan yang tulus.

Jika pembangunan hadir tanpa menyentuh akar kultural dan sosial masyarakat adat, maka yang tumbuh bukan kepercayaan, melainkan keterasingan. Jika jembatan dibangun tetapi suara lokal diabaikan, maka yang terhubung hanya kendaraan, bukan hati, sebagaimana yang pernah ditegaskan oleh Pastor Antonius Benny Susetyo dari BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila):

"Negara harus hadir bukan dengan kekuasaan, tapi dengan hati. Papua bukan objek pembangunan, tapi subjek yang perlu diajak bicara dan dihargai hak-haknya."


Menjadi Bangsa yang Mau Mendengar

Kita tidak bisa terus memuji diri sebagai bangsa yang adil sambil menutup telinga dari tangisan mereka yang dipinggirkan. Kita tidak perlu takut mengakui bahwa ada yang salah dan belum beres. Kejujuran bukan kelemahan, melainkan fondasi dari kepercayaan.

Ironisnya, Indonesia sering bersuara lantang dalam mendukung kemerdekaan Palestina, mengecam penjajahan dan kekerasan atas nama kemanusiaan di forum-forum internasional. Namun suara itu terasa hampa ketika kita menoleh ke tanah Papua dan mendapati luka yang serupa justru dibiarkan membusuk di halaman sendiri. Bagaimana bisa kita mengutuk kolonialisme di luar negeri, namun membenarkan kekerasan, penghapusan memori, dan peminggiran hak-hak dasar di wilayah sendiri?

Papua bukan beban. Papua adalah ujian moral bagi republik ini: apakah kita sungguh berdiri di atas peri-kemanusiaan dan peri-keadilan, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945?


Menuju Indonesia yang Lebih Jujur

Kemerdekaan tidak cukup hanya dengan status politik. Ia harus menjadi kenyataan dalam hidup sehari-hari: bisa bicara tanpa takut, bisa hidup tanpa dicurigai, bisa dihargai tanpa syarat.

Mari kita kembali ke ruh Pembukaan UUD 1945: bersatu bukan karena paksaan, tetapi karena penghargaan satu sama lain. Dan jika ada luka, mari kita rawat bersama—dengan mendengar, bukan membungkam. Sebab sesungguhnya bangsa yang kuat bukan yang tak pernah salah, melainkan yang berani belajar dari kesalahan.


Menyongsong Hak Kewarganegaraan yang Sejati

Menyongsong hak kewarganegaraan yang sejati bagi rakyat Papua berarti memastikan bahwa setiap insan di tanah ini—tanpa kecuali—merasa dimiliki dan memiliki Indonesia. Ini bukan sekadar tentang status administratif sebagai WNI, melainkan tentang rasa aman, martabat yang dihargai, serta ruang untuk menyuarakan pengalaman dan identitas diri.

UUD 1945 bukan hanya dokumen hukum, tetapi janji moral yang harus diwujudkan dalam kebijakan dan sikap kita sehari-hari. Jika bangsa ini ingin setia pada semangat yang melahirkan republik 'dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat', maka Papua harus dilihat bukan sebagai pinggiran, tetapi sebagai jantung perjuangan bangsa menuju keadilan yang utuh dan merata. Di sanalah, hak kewarganegaraan yang sejati akan menemukan maknanya.

Comments