Gengsi dan Penjajahan Pikiran: Mengapa yang Tak Bergelar Sering Dianggap Tak Punya Suara?
Gengsi dan Penjajahan Pikiran: Mengapa yang Tak Bergelar Sering Dianggap Tak Punya Suara?
Di tanah ini, di negeri yang katanya merdeka, masih banyak orang yang hanya dipercaya kalau sudah memakai gelar: Prof., Dr., M.Sc., atau sejenisnya. Kalau bukan dari universitas, apalagi kalau tidak pernah “diakui negara”, orang itu seringkali dianggap tidak pantas bicara. Bahkan kalau dia adalah orang asli yang hidup di kampung, tahu tanahnya, hafal hutan dan sungai, tahu benar mana yang adil dan mana yang tidak.
Ketika yang Tak Kuliah Dianggap Tak Tahu Apa-apa
Budaya semacam ini bukan hanya soal ego atau kebanggaan pribadi. Ini adalah bagian dari warisan kolonialisme: sistem berpikir yang diwariskan Belanda dan dilestarikan Indonesia, yang menilai manusia berdasarkan pendidikan formal dan gelar akademik. Seolah-olah yang bisa bicara soal Papua harus orang dengan jas, ijazah, dan gelar dari kota. Seolah-olah orang gunung, orang kampung, mama-mama, dan pejuang lapangan tidak layak dipercaya.
Warisan Sekolah Kolonial dan Kasta Baru Bernama 'Intelektual'
Sejak zaman Belanda, hanya segelintir orang pribumi yang diberi akses ke sekolah-sekolah formal. Mereka yang berhasil menyelesaikannya, ditempatkan dalam posisi khusus: jadi pegawai, guru, atau juru bicara pemerintah kolonial. Mereka disebut “terpelajar”, tapi sebenarnya mereka dipakai untuk mewakili suara penguasa, bukan suara rakyat.
Setelah Indonesia masuk dan mendirikan sekolah dan universitas di Papua, sistem ini tidak berubah. Yang dianggap cerdas adalah mereka yang belajar sistem Jakarta. Yang disebut “intelektual” adalah mereka yang mengulang cara berpikir dari buku-buku Eropa. Akibatnya, banyak pengetahuan lokal, cara hidup adat, dan suara hati rakyat Papua dipinggirkan karena tidak “akademik”.
Universitas sebagai Alat Gengsi dan Kekuasaan
Hari ini, universitas dan gelar akademik sering dipakai bukan untuk melayani rakyat, tapi untuk mengangkat status pribadi. Gelar seperti Dr. atau Profesor jadi alat untuk mendapatkan jabatan, dihormati di forum, atau dianggap paling tahu. Tapi pertanyaannya: apakah semua yang bergelar itu sungguh tahu dan membela kebenaran?
Tidak sedikit orang yang sudah bergelar tinggi tapi memilih diam saat rakyat Papua dibunuh. Tidak sedikit yang menyandang titel akademik, tapi malah jadi corong kekuasaan. Mereka menyebut dirinya "ilmiah", tapi mengabaikan suara rakyat yang terluka. Mereka menulis makalah, tapi tidak turun ke kampung-kampung yang dibakar militer.
Kita Tidak Butuh Gelar untuk Bicara Kebenaran
Kebenaran tidak hanya lahir di ruang kuliah. Ia lahir dari pengalaman, dari luka, dari perjuangan. Seorang mama Papua yang setiap hari jual pinang di pasar Jayapura tahu apa itu ketidakadilan. Seorang tokoh adat yang menjaga hutan leluhur tahu lebih banyak tentang keberlanjutan daripada ahli lingkungan yang hanya baca buku.
Tapi sistem hari ini membuat kita merasa rendah diri. Anak-anak muda Papua sering merasa tidak percaya diri karena tidak punya gelar. Padahal, suara mereka penting. Pengetahuan mereka nyata. Kita perlu melawan cara berpikir yang menilai orang dari ijazah, bukan dari integritas dan keberpihakan pada kebenaran.
Melawan Penjajahan Pikiran dengan Suara Rakyat
Budaya gengsi gelar adalah bagian dari penjajahan pikiran (mental colonization). Kita diajari untuk meniru, bukan berpikir sendiri. Kita diajari untuk tunduk pada orang bergelar, bukan percaya pada kebijaksanaan sendiri. Tapi di tanah Papua, kita punya warisan intelektual yang lebih tua dan lebih bijak dari gelar buatan kolonial.
Sudah saatnya kita membangun ruang pengetahuan baru. Bukan hanya di kampus, tapi juga di kampung, di rumah adat, di jalan, di mimbar gereja, di forum rakyat. Kita butuh demokratisasi pengetahuan, di mana siapa pun—entah dia Dr. atau petani, entah dia profesor atau aktivis muda—bisa bicara dan didengar.
“Kebenaran tidak butuh gelar. Keadilan tidak menunggu ijazah. Rakyat tidak menunggu kampus untuk bersuara.”
Catatan Penutup:
Tulisan ini bukan seruan anti-pendidikan, tapi ajakan untuk membebaskan pendidikan dari elitisme. Pendidikan harus merakyat, berpihak, dan membumi. Jika pendidikan tidak membela mereka yang tertindas, maka ia hanya menjadi alat penjajahan baru—penjajahan atas nama gelar.
Comments
Post a Comment