I-EU CEPA dan Papua: Pentingnya Pengawasan untuk Melindungi Masyarakat Adat dan Sumber Daya Alam
I-EU CEPA dan Papua: Pentingnya Pengawasan untuk Melindungi Masyarakat Adat dan Sumber Daya Alam
Kesepakatan Besar, Risiko Tersembunyi
Indonesia dan Uni Eropa tengah menyelesaikan perjanjian perdagangan bebas yang komprehensif bernama Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU CEPA).
Kesepakatan ini mencakup isu tarif, investasi, kekayaan intelektual, hingga komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan. Di atas kertas, IEU CEPA menjanjikan peningkatan perdagangan dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun di balik proyeksi makroekonomi tersebut, ada risiko struktural yang harus dicermati secara kritis, terutama bagi wilayah-wilayah yang memiliki kekayaan sumber daya alam tinggi, tetapi berada dalam posisi rentan secara sosial-politik—seperti Papua.
Papua dan Daya Tarik Ekonomi Global
Papua adalah salah satu kawasan terkaya secara ekologis dan geologis di Indonesia. Cadangan emas dan tembaga kelas dunia, potensi nikel, serta luasnya hutan tropis menjadikan wilayah ini sangat strategis dalam peta investasi global. Terutama sejak Uni Eropa meluncurkan strategi Green Deal dan Critical Raw Materials Act, yang menargetkan transisi energi hijau dan peningkatan pasokan bahan mentah dari negara berkembang.
Dalam beberapa tahun terakhir, wilayah Papua mulai menjadi target ekspansi industri pengolahan nikel dan proyek smelter. Beberapa proyek dirancang di kawasan Teluk Bintuni, Fakfak, Mimika, dan Nabire. Namun masuknya proyek skala besar ini seringkali berlangsung tanpa keterlibatan berarti dari masyarakat adat yang hidup di atas tanah tersebut.
Hak Masyarakat Adat Terabaikan
Secara hukum internasional, setiap proyek di atas tanah adat harus melalui proses Free, Prior and Informed Consent (FPIC). Ini adalah prinsip dasar dalam penghormatan terhadap hak masyarakat adat. Sayangnya, berbagai laporan dari organisasi seperti Yayasan Pusaka, Walhi Papua, Elsham, dan Greenpeace Indonesia menunjukkan bahwa FPIC sering diabaikan atau dijalankan sebagai formalitas tanpa keterlibatan bermakna dari masyarakat adat.
Di banyak kasus, masyarakat tidak memiliki akses terhadap informasi yang memadai, tidak terlibat dalam proses pengambilan keputusan, dan tidak memiliki posisi tawar untuk menolak proyek yang merugikan mereka. Dalam konteks Papua, di mana lebih dari 80 persen wilayahnya merupakan tanah adat, hal ini sangat serius. Tanpa prosedur yang benar, proyek IEU CEPA bisa memperkuat pola kolonialisme ekonomi yang memperkaya pihak luar dan meminggirkan penduduk lokal.
Klausul Lingkungan dalam IEU CEPA Masih Lemah
IEU CEPA memang mencantumkan bab tentang pembangunan berkelanjutan. Namun, menurut analisis European Environmental Bureau (EEB), klausul lingkungan dalam perjanjian perdagangan cenderung tidak mengikat, mekanisme pengawasan lemah, tanpa sanksi, dan bergantung pada itikad baik negara mitra.
Artinya, dalam praktik, perlindungan lingkungan dan hak masyarakat adat bisa diabaikan jika tidak ada mekanisme domestik yang kuat untuk menegakkannya. Ini menjadi ancaman serius bagi wilayah seperti Papua yang sangat bergantung pada keberlanjutan ekosistem dan nilai-nilai hidup bersama dengan alam.
Manfaat Ekonomi Tidak Dinikmati Masyarakat Papua
Papua selama ini telah menjadi pusat pertambangan besar seperti Freeport di Mimika, namun kondisi sosial masyarakat lokal belum banyak berubah. Data BPS Papua 2023 menunjukkan tingkat kemiskinan di atas 25 persen, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah di Indonesia. Infrastruktur dasar, layanan pendidikan, dan kesehatan masih sangat terbatas di banyak wilayah adat.
Sementara itu, keuntungan ekonomi dari industri tambang sebagian besar dinikmati oleh negara, korporasi, dan elite lokal. Proyek-proyek besar tidak selalu disertai dengan mekanisme distribusi manfaat yang adil. Jika IEU CEPA membuka ruang lebih luas bagi investasi besar tanpa reformasi struktural dan perlindungan hak, maka ketimpangan ini hanya akan makin dalam.
Minimnya Keterlibatan Masyarakat Papua dalam Proses Perjanjian
Proses negosiasi IEU CEPA sejauh ini berlangsung tertutup, dengan partisipasi terbatas dari masyarakat sipil, apalagi masyarakat adat Papua. Padahal dampaknya bisa sangat besar terhadap ruang hidup, hak atas tanah, dan masa depan ekonomi lokal.
Papua bukan sekadar kawasan sumber daya, tetapi wilayah yang menyimpan sejarah panjang marginalisasi, konflik, dan perjuangan mempertahankan hak hidup. Tidak melibatkan masyarakat Papua dalam perjanjian yang akan menentukan arah investasi dan struktur ekonomi wilayah mereka adalah bentuk pengabaian terhadap prinsip keadilan sosial.
Urgensi Perlindungan Khusus untuk Papua
Jika IEU CEPA tetap dilanjutkan, maka sangat penting untuk memasukkan klausul perlindungan khusus bagi wilayah-wilayah seperti Papua. Harus ada jaminan perlindungan tanah adat, evaluasi lingkungan yang ketat, serta mekanisme pemantauan independen. Partisipasi masyarakat adat harus dijamin, bukan sekadar formalitas.
Pemerintah Indonesia perlu memastikan bahwa perjanjian ini tidak menjadi pintu masuk legal bagi ekspansi tambang dan deforestasi di Papua tanpa akuntabilitas. Sebaliknya, IEU CEPA harus menjadi momentum untuk memperkuat prinsip pembangunan berkelanjutan, keadilan sosial, dan perlindungan hak komunitas adat.
Keadilan Pembangunan Dimulai dari Partisipasi yang Seimbang
Pembangunan yang sejati bukan hanya soal angka Produk Domestik Bruto (PDB) atau nilai ekspor—yang hanya mencerminkan pertumbuhan ekonomi secara makro—tetapi menyangkut martabat manusia dan keberlanjutan hidup bersama. Masyarakat Papua tidak menolak pembangunan, tetapi menuntut agar pembangunan itu dijalankan dengan menghormati hak, budaya, dan masa depan mereka.
Papua membutuhkan keadilan, bukan janji keuntungan sepihak. Masa depan Tanah Papua seharusnya tidak ditentukan secara sepihak dalam ruang negosiasi yang jauh dari suara rakyatnya. Dalam semangat keadilan ekologis dan hak masyarakat adat, IEU CEPA harus diawasi secara kritis agar tidak menjadi instrumen eksploitasi baru, tetapi justru membuka ruang untuk model pembangunan yang manusiawi, setara, dan lestari.
Comments
Post a Comment