“Tunjukkan Buktinya!” – Ketika Penjahat Menantang Hakim: Psikologi Penyangkalan dan Luka Papua yang Tak Diakui
“Tunjukkan Buktinya!”
– Ketika Penjahat Menantang Hakim: Psikologi Penyangkalan dan Luka Papua yang Tak Diakui
Ada adegan-adegan dalam hidup yang tampaknya sepele, tapi menyimpan kedalaman moral dan psikologis yang mencengangkan. Salah satunya: ketika seorang pencuri yang tertangkap basah menegakkan kepala dan dengan percaya diri menantang, “Tunjukkan buktinya!”
Kalimat itu bukan sekadar pembelaan. Ia adalah jendela ke dalam dunia batin manusia — dunia yang diwarnai ketakutan, rasa malu, harga diri yang terluka, dan upaya tak sadar untuk menyelamatkan wajah di tengah reruntuhan moral. Dalam masyarakat modern, fenomena ini bukan hanya milik individu. Ia telah menjelma menjadi mekanisme sosial-politik yang dijalankan oleh institusi kekuasaan, termasuk negara.
Dan di Tanah Papua, kita menyaksikan tragedi ini berlangsung tanpa henti: ketika pelanggaran HAM terjadi, tetapi mereka yang dituduh justru menantang masyarakat sipil, aktivis, gereja, bahkan korban sendiri untuk membuktikannya — dengan standar bukti yang tak masuk akal dan di dalam sistem yang penuh bias.
Dari Pengadilan ke Papua: Ketika Negara Berbicara Seperti Terdakwa
Mari kita bayangkan ulang adegan di pengadilan. Seorang terdakwa berdiri di depan hakim. Tangannya masih memegang barang bukti, tetapi dengan wajah datar ia berkata, “Saya tidak mencuri. Buktikan dulu.” Lalu ia memutar balikkan situasi: hakim dianggap terlalu berpihak, korban dianggap tidak netral, dan para saksi disebut “berhalusinasi”. Ini bukan fiksi. Ini adalah struktur dasar dari bagaimana negara merespons laporan pelanggaran HAM di Papua.
Dalam peristiwa Paniai 2014, Nduga sejak 2018, Intan Jaya 2020, hingga Dogiyai 2023, laporan-laporan dari Komnas HAM, Gereja, dan masyarakat sipil menyebut keterlibatan aparat keamanan dalam pembunuhan, penyiksaan, pembakaran rumah, dan pengungsian warga. Tapi tanggapan dari negara hampir seragam: “Tunggu dulu. Itu belum terbukti. Jangan menyebar hoaks.”
Pemerintah menuntut bukti dalam format hukum yang sempurna — padahal masyarakat sipil tidak punya akses ke mekanisme pengumpulan bukti yang aman. Akses media dibatasi. Jurnalis diintimidasi. LSM dikriminalisasi. Akhirnya, rakyat yang trauma harus membuktikan sendiri luka-lukanya… pada mereka yang justru melukai.
Psikologi Penyangkalan: Antara Trauma Kuasa dan Ketakutan akan Runtuhnya Wibawa
Dalam psikologi klinis, penyangkalan (denial) sering kali muncul bukan karena ketidaktahuan, tapi sebagai mekanisme pertahanan diri. Sigmund Freud menyebutnya Verleugnung — penolakan sadar terhadap kenyataan yang tidak nyaman. Seorang individu bisa mengetahui bahwa dirinya bersalah, tapi memilih untuk mengatakan “tidak”, demi mempertahankan citra diri yang rapuh.
Pada level negara, penyangkalan semacam ini bekerja seperti perisai simbolik. Mengakui bahwa aparatnya melakukan kekerasan terhadap warga sipil Papua sama dengan mengguncang narasi besar tentang wibawa nasional, profesionalisme militer, dan integritas kebangsaan. Maka penolakan menjadi niscaya — bukan karena tak ada kebenaran, tapi karena kebenaran itu terlalu menakutkan untuk diakui.
Lebih jauh, psikologi sosial menunjukkan bahwa institusi yang dominan sering kali menggunakan apa yang disebut “inversi moral”: pelaku kekerasan mengklaim posisi sebagai korban, sementara korban dikonstruksi sebagai pengacau. Itulah mengapa warga Papua yang mengadukan pelanggaran sering dituduh separatis, padahal mereka hanya menuntut keadilan.
Sinisme sebagai Pertahanan Kekuasaan
Di dalam logika ini, negara tidak hanya menyangkal, tapi juga menyerang balik. Ia mempertanyakan kredibilitas semua sumber informasi: “Gereja bias.” “Komnas HAM tidak netral.” “LSM asing punya agenda.” “Aktivis itu dibayar.” Semua suara yang menantang kekuasaan diposisikan sebagai ancaman — bukan karena mereka salah, tapi karena mereka menyingkapkan kebenaran yang selama ini ditutup rapat.
Fenomena ini mirip dengan psikologi pelaku narsistik: ketika ditegur, ia tidak mengoreksi diri, tapi malah merendahkan orang lain agar tetap merasa superior. Dalam politik, strategi ini disebut gaslighting struktural — membuat korban merasa ragu terhadap realitas yang mereka alami, seolah-olah penderitaan mereka hanyalah ilusi.
Dari Trauma ke Impunitas: Luka yang Tak Diakui, Luka yang Tak Pernah Sembuh
Penyangkalan terhadap kekerasan di Papua bukan hanya masalah moral. Ia adalah bom waktu sosial. Korban tidak mendapat pengakuan. Pelaku tidak mendapat hukuman. Masyarakat luas menjadi apatis. Dan impunitas menjelma menjadi norma.
Lihat saja warga Nduga, yang sejak 2018 terpaksa mengungsi di kamp-kamp darurat, tanpa perhatian media nasional. Anak-anak meninggal karena kelaparan dan malaria, tetapi negara hanya berkata, “Itu akibat ulah kelompok bersenjata.” Tidak ada satu pun pejabat tinggi yang secara terbuka mengakui bahwa operasi militer telah menciptakan bencana kemanusiaan di sana.
Dalam logika kekuasaan yang terbalik ini, kebenaran menjadi relatif, dan kejujuran dianggap kelemahan. Mereka yang bersuara jujur dituding merusak citra negara, sementara mereka yang menutupi kejahatan justru dipromosikan.
Membangun Ulang Moralitas Publik: Dari Pengakuan Menuju Keadilan
Di tengah absurditas ini, satu hal menjadi terang: tidak ada masyarakat yang bisa bertahan tanpa kejujuran kolektif. Keadilan bukan sekadar perkara prosedur, tapi soal hati nurani — kemauan untuk berkata, “Ya, itu salah. Dan kami bertanggung jawab.”
Masyarakat Papua tidak membutuhkan negara yang sempurna. Mereka hanya membutuhkan negara yang cukup berani untuk jujur. Sebab, yang membuat manusia benar-benar mulia bukanlah ketidaksalahannya, tapi kerendahan hatinya untuk mengakui dan memperbaiki.
Akhir Kata: Ketika Kebenaran Diusir, Kebohongan Berkuasa
Selama kebohongan masih dianggap lebih strategis daripada pengakuan jujur, para pencuri — entah itu individu atau institusi — akan terus menantang hakim. Mereka akan terus berkata: “Tunjukkan buktinya!” Dan selama itu pula, para hakim — rakyat, korban, jurnalis, dan aktivis — akan kehilangan otoritasnya.
Tetapi harapan belum mati. Ia hidup dalam suara-suara kecil yang terus bersaksi. Dalam laporan yang ditulis diam-diam. Dalam mimbar gereja yang bersuara lantang. Dalam anak muda Papua yang menulis esai seperti ini. Dalam keberanian untuk menyebut yang salah sebagai salah — walau sendirian.
Sebab kebenaran, meski telanjang dan dibungkam, tetap lebih berharga daripada kebohongan berbaju bintang dan seragam.
Seorang pejuang sejati melawan penjajahan di mana pun — bahkan jika penjajahnya adalah bangsanya sendiri.
Catatan Penulis:
Tulisan ini adalah ajakan bagi kita semua — warga negara, akademisi, jurnalis, pemimpin gereja, dan penguasa — untuk tidak lagi hidup dalam penyangkalan. Karena hanya dengan mengakui luka Papua secara jujur, kita bisa mulai menjahit kembali kemanusiaan yang koyak.
Comments
Post a Comment