Revolusi Papua: Kesadaran, Solidaritas, Strategi
Revolusi Papua: Kesadaran, Solidaritas, Strategi
Revolusi Papua bukan sekadar mimpi atau slogan. Ia adalah proses panjang di mana rakyat belajar memahami posisi mereka dalam sejarah, membangun solidaritas lintas etnis, kelas, dan organisasi, serta menyusun strategi untuk menghadapi struktur penindasan yang sistemik.
Kesadaran, solidaritas, dan strategi adalah tiga pilar yang harus dijalankan bersamaan agar perjuangan tidak berhenti pada ledakan emosional, tetapi berkembang menjadi gerakan nyata yang mampu menantang kolonialisme internal dan membuka jalan bagi kemandirian rakyat Papua.
Pelajaran dari protes rasisme 2019 menunjukkan bahwa keberanian moral dan kemarahan spontan, meskipun penting, tidak cukup tanpa disiplin organisasi, pendidikan politik, dan front luas yang menyatukan semua pihak yang tertindas — dari masyarakat adat hingga komunitas Indonesia progresif, dari kaum kiri hingga Gereja yang berpihak pada keadilan sosial.
Esai ini menelusuri bagaimana pengalaman sejarah dan teori revolusi, khususnya revolusi Kuba, dapat memberi inspirasi dan kerangka pemikiran untuk membangun revolusi Papua yang matang dan berkelanjutan.
Penderitaan sebagai Energi Pembebasan
Tidak ada revolusi yang lahir dari kenyamanan. Revolusi lahir dari ketegangan antara kemarahan dan harapan, antara luka dan keberanian untuk tidak menyerah pada luka itu. Kuba tahun 1959 dan Papua hari ini, meskipun terpisah oleh samudra dan waktu, berhadapan dengan dilema yang sama: bagaimana menjadikan penderitaan sebagai energi pembebasan, bukan sekadar keluhan yang tak berujung.
Dalam konteks ini, revolusi bukan hanya tentang senjata atau pergolakan fisik. Revolusi sejati lahir dari kesadaran rakyat yang memahami akar penindasan, dari solidaritas yang melampaui batas etnis dan kelas, serta dari strategi yang menghubungkan kemarahan dengan aksi yang terorganisir.
Kesadaran Kolektif: Rahasia di Balik Kemenangan Kuba
Rahasia keberhasilan revolusi Kuba bukan terletak pada senjata, tetapi pada kemampuan Fidel Castro dan Ernesto “Che” Guevara mengubah emosi rakyat menjadi kesadaran massa. Mereka memahami bahwa revolusi tidak pernah lahir dari spontanitas belaka. Ia harus berakar dalam struktur sosial, disiplin ideologi, dan organisasi rakyat yang menyatu antara gagasan dan tindakan.
Revolusi Kuba berhasil karena ia bukan hanya protes, tetapi juga proyek sosial. Rakyat tidak hanya dimobilisasi untuk menggulingkan Diktator Batista, tetapi juga diajari untuk mengelola tanah, mendirikan sekolah, dan menciptakan solidaritas lintas kelas. Dari basis gerilya di pegunungan Sierra Maestra lahir kesadaran baru tentang martabat manusia, yang tidak ditentukan oleh ras, kekayaan, atau posisi, tetapi oleh partisipasi aktif dalam perjuangan bersama.
Kemarahan Tanpa Arah: Pelajaran dari Realitas Papua
Jika kita memindahkan lensa itu ke Papua, sejarahnya tampak seperti cermin yang retak. Ada energi, keberanian, dan kemarahan yang sah terhadap penindasan, tetapi semua itu sering terhenti pada letupan-letupan emosional yang gagal menjadi arus sosial yang terorganisir. Contoh paling jelas adalah protes rasisme 2019. Ketika penghinaan terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang memicu kemarahan di seluruh Tanah Papua, seolah sejarah menyiapkan momen revolusi moral. Untuk pertama kalinya, ribuan rakyat Papua turun ke jalan dengan satu seruan yang mengguncang: “Kami bukan monyet!” Seruan itu menembus dinding ketakutan dan mengguncang hati nurani nasional.
Namun seperti kobaran api tanpa bahan bakar, protes itu padam terlalu cepat. Negara segera menekan dengan kekuatan militer, memutus jaringan internet, memenjarakan aktivis, dan menebar propaganda bahwa semua ini hanyalah “ulah separatis”. Tetapi kegagalan gerakan itu tidak hanya karena represi negara; ia juga karena kelemahan internal. Tidak ada organisasi yang mampu menampung energi massa, tidak ada kanal ideologis yang membentuk kesadaran, dan tidak ada strategi yang menjembatani antara mahasiswa, buruh, petani, dan Gereja. Dalam bahasa teori revolusi Kuba, yang terjadi hanyalah ledakan sosial, bukan revolusi kesadaran.
Landasan Moral dalam Perjuangan Rakyat
Che Guevara menulis bahwa “revolusi adalah hasil dari cinta yang mendalam terhadap manusia.” Artinya, revolusi sejati tidak dibangun atas dasar kebencian terhadap musuh, tetapi atas solidaritas di antara yang tertindas. Di sinilah protes 2019 gagal: ia menyalakan api kemarahan terhadap ketidakadilan, tetapi belum berhasil mengubahnya menjadi solidaritas lintas identitas dan kelas. Gerakan itu masih terkurung dalam logika etnis — “kami, orang Papua” — sementara sistem yang menindas orang Papua juga menindas buruh di Bekasi, petani di Kulon Progo, dan nelayan di Sulawesi. Nasionalisme yang eksklusif justru membuat perjuangan mudah diisolasi dan didelegitimasi.
Filep Karma sudah lama mengingatkan hal ini. Dalam tulisan dan wawancaranya, ia menolak gagasan bahwa perjuangan Papua hanya bisa dimenangkan dengan bendera atau simbol. “Kita butuh pendidikan politik rakyat,” katanya, “agar kita tahu bukan hanya siapa musuh kita, tetapi juga siapa kawan kita.” Karma memahami bahwa kolonialisme di Papua bersifat struktural — ia beroperasi lewat ekonomi, pendidikan, dan agama. Karena itu, melawan kolonialisme tidak cukup dengan simbol perlawanan, tetapi harus dengan pembangunan kesadaran rakyat yang terdidik dan terorganisir. Tanpa itu, setiap ledakan kemarahan hanya akan dimanfaatkan oleh elite politik, sementara rakyat kembali dilupakan.
Awal Kecil, Dampak Besar: Strategi Kuba
Dalam hal ini, revolusi Kuba memberi pelajaran konkret. Castro dan Che tidak memulai perjuangan dengan pasukan besar, tetapi dengan sekelompok kecil orang yang berdisiplin dan punya visi. Mereka membangun basis di pedalaman, menyatu dengan rakyat, menanamkan pendidikan politik, mengajarkan membaca dan menulis, dan menjadikan setiap kamp gerilya sebagai sekolah kehidupan. Mereka tidak hanya menyiapkan perang, tetapi juga masyarakat baru yang sadar akan martabat dan haknya.
Papua, sebaliknya, sering terjebak dalam fragmentasi. Gerakan mahasiswa tidak terhubung dengan masyarakat adat. Aktivis kota jarang membangun hubungan dengan Gereja atau serikat pekerja. Kalangan intelektual Papua sering terpisah dari massa karena pendidikan yang justru menjauhkan mereka dari rakyat. Maka setiap kali muncul momentum besar seperti 2019, gerakan tampak gagah di jalan, tetapi kehilangan arah ketika emosi surut.
Solidaritas Lintas Ideologi sebagai Kunci Revolusi
Revolusi Kuba juga berhasil karena berani membangun front luas. Castro tidak menolak kaum kiri, nasionalis, bahkan elemen progresif dalam Gereja. Ia menyatukan mereka dalam satu visi: pembebasan rakyat dari tirani dan ketergantungan. Di Papua, pelajaran ini sangat relevan. Revolusi yang hanya mengandalkan satu ideologi atau satu kelompok etnis pasti gagal. Revolusi Papua — jika benar-benar ingin hidup — harus merangkul kelompok kiri, Gereja progresif, Islam liberal, komunitas Indonesia yang peduli keadilan, dan semua pihak yang menolak penindasan dalam bentuk apa pun.
Mengabaikan kaum kiri berarti menolak basis analisis kelas yang penting untuk memahami kolonialisme ekonomi. Mengabaikan kaum agamis berarti kehilangan jaringan moral dan sosial yang masih menjadi ruang perlindungan bagi rakyat kecil. Mengabaikan komunitas Indonesia berarti menutup pintu bagi solidaritas lintas batas, padahal kolonialisme yang dihadapi rakyat Papua bukan semata kolonialisme etnis, tetapi kolonialisme negara dan modal.
Selain itu, keberhasilan revolusi membutuhkan organisasi yang mampu menampung energi rakyat secara nyata — organisasi yang bersifat horizontal, bukan vertikal dan birokratis. Struktur horizontal memungkinkan partisipasi luas, pengambilan keputusan kolektif, dan distribusi tanggung jawab yang merata, sehingga tidak ada satu individu atau kelompok kecil yang mendominasi arah perjuangan. Tanpa model organisasi semacam ini, solidaritas dan kesadaran kolektif mudah terpecah, energi revolusi tercecer, dan potensi rakyat untuk bertindak secara strategis tetap terhambat.
Selain itu, perlu dicermati kematangan revolusi di Papua. Jika kita mengukurnya dengan tiga indikator klasik — kesadaran ideologis rakyat, organisasi revolusioner yang terdisiplin, dan momentum krisis yang mengguncang legitimasi kekuasaan — maka Papua masih berada pada tahap awal. Kesadaran ideologis banyak muncul, tetapi masih dominan moral dan simbolik, belum struktural. Organisasi masih rapuh dan fragmentaris. Momentum krisis ada, tetapi negara mampu meredamnya dengan kekuatan represif dan narasi pembangunan. Dengan kata lain, revolusi Papua saat ini lebih bersifat emosional daripada strategis. Ia menyala, padam, lalu menyala lagi, menunggu struktur dan arah yang jelas agar menjadi arus yang tak terbendung.
Kegagalan sebagai Guru: Jalan Menuju Kematangan Revolusi
Namun kegagalan bukan akhir, melainkan pelajaran. Kematangan revolusi Papua akan tercapai ketika kesadaran etno-nasional berkembang menjadi kesadaran rakyat yang terorganisir, ketika solidaritas lintas kelas dan etnis terbentuk, ketika Gereja berani mengajarkan moral sekaligus pendidikan politik, dan ketika kelompok kiri hadir sebagai pembaca struktur yang kritis. Inilah yang akan mengubah api kemarahan menjadi revolusi yang tahan uji — revolusi yang bukan sekadar perlawanan simbolik, tetapi transformasi sosial yang nyata.
Jika Papua mampu belajar dari Kuba, dari kegagalan 2019, dan dari refleksi Filep Karma, maka revolusi tidak lagi sekadar harapan. Ia menjadi proyek panjang untuk menciptakan masa depan di mana rakyat Papua memegang kendali atas hidupnya sendiri, bukan karena kekerasan atau kemarahan semata, tetapi karena disiplin, kesadaran, dan solidaritas yang terbangun dari akar rumput. Dan ketika itu terjadi, bara yang selama ini berkobar di tanah Papua akan menjadi api yang menyala dan menerangi seluruh pegunungan, lembah, dan pesisirnya — bukan hanya sebagai simbol, tetapi sebagai kenyataan historis.

Comments
Post a Comment