Soeharto: Pahlawan Mereka, Bukan Pahlawan Kita

Soeharto: Pahlawan Mereka, Bukan Pahlawan Kita

Indonesia memang bangsa yang dermawan dalam hal memaafkan—bahkan terlalu dermawan. Seorang penguasa yang berkuasa tiga dasawarsa, membungkam ribuan suara, dan membiarkan darah tumpah dari Aceh sampai Papua, kini diusulkan menjadi “pahlawan nasional”. Hebat. Di negeri ini, sejarah bukan untuk diingat, tapi untuk didekorasi.

Bagi sebagian orang di Jawa, Soeharto adalah bapak pembangunan: simbol keteraturan, harga sembako stabil, dan jalan tol mulus. Tapi bagi Papua, Soeharto adalah bapak lain: bapak operasi militer, bapak DOM, bapak transmigrasi, dan bapak trauma yang diwariskan lintas generasi.

Namun siapa peduli? Di Jakarta, ingatan tentang Papua biasanya berhenti di meja rapat kementerian—jauh sebelum tiba di hati nurani.


Pembangunan, versi Jenderal

Selama tiga dekade, Papua adalah laboratorium dari ide besar Orde Baru: “persatuan nasional melalui senjata.” Setiap kali rakyat bicara tentang hak, datang pasukan dengan daftar nama dan surat izin tembak. Di langit, helikopter menebar selebaran pembangunan; di bawah, rumah-rumah rakyat terbakar untuk memastikan stabilitas.

Soeharto menyebutnya pembangunan; sejarah menyebutnya penghapusan perlahan.

Semuanya dilakukan atas nama integrasi—kata suci yang menenangkan nurani di ibu kota dan menyalakan api di kampung-kampung gunung.

Dan kini, setelah semua itu, ia akan disebut pahlawan. Mungkin benar: pahlawan bagi tambang, bagi kontraktor, bagi statistik ekonomi. Tapi tidak bagi tanah yang dipijak dengan sepatu lars.


Ketika Luka Dianggap Kemajuan

Papua kehilangan lebih dari nyawa. Ia kehilangan ruang untuk menjadi dirinya sendiri.

Tanah adat dijadikan proyek nasional. Sungai-sungai dijadikan milik negara. Bahasa, lagu, dan tarian dijadikan folklor—hiasan dalam pameran kebudayaan di Jakarta.

Semua ini disebut kemajuan. Di buku teks sekolah, Soeharto dikenang sebagai pemimpin bijak yang membawa Papua ke pangkuan Ibu Pertiwi. Tak ada catatan tentang ibu-ibu yang kehilangan anak, atau kampung yang hilang dari peta.

Tapi memang begitulah cara negara menulis sejarah: siapa pun bisa jadi pahlawan, asal punya kekuasaan cukup lama untuk menulis epitafnya sendiri.


Politik Amnesia Nasional

Kita hidup di republik dengan daya ingat pendek dan selera ironi tinggi. Orang-orang yang dulu menembak rakyat sekarang diajak bicara soal demokrasi. Para arsitek ketakutan berubah jadi ikon stabilitas.

Dan kini, Soeharto—penguasa yang membangun karier di atas mayat politik dan luka sosial—akan diberi gelar pahlawan.

Sungguh, Indonesia luar biasa: hanya di negeri ini, pelaku bisa lebih mudah mendapat penghargaan daripada korban mendapat pengakuan.

Papua tentu harus ikut bangga. Toh, tanpa Papua, Soeharto takkan punya panggung sebesar itu. Tanpa emas dan tembaga dari tanah ini, mungkin Orde Baru hanyalah proyek kecil di Pulau Jawa.


Pahlawan Versi Kita

Di Papua, pahlawan tidak memakai seragam. Ia berjalan tanpa bintang di dada. Ia menanam ubi di tanah yang retak karena bom. Ia menulis, bernyanyi, mengajar, bertahan—di tengah dunia yang terus melupakan.

Sementara di Jakarta, gelar pahlawan dibagikan seperti piagam sekolah. Setiap November, bangsa ini menimbang siapa yang pantas dikenang, tanpa bertanya siapa yang masih terluka.

Mereka menulis nama Soeharto di batu marmer; kami menulis nama-nama yang tak sempat lahir di batu nisan.

Mereka membangun monumen untuk sang penguasa; kami membangun ingatan agar kebenaran tak terkubur bersama tubuh-tubuh yang tak ditemukan.


Ironi Terakhir

Barangkali benar: Soeharto pantas menjadi pahlawan nasional — bagi mereka yang masih percaya bahwa pembangunan lebih penting daripada keadilan, dan bahwa diam lebih baik daripada jujur.

Tapi bagi kami di Papua, nama itu hanya mengingatkan satu hal: bahwa di negeri ini, sejarah sering berpihak kepada pelaku, dan lupa kepada yang dipukul.

Jadi, ketika nanti pemerintah resmi menabalkan namanya sebagai pahlawan, jangan heran kalau rakyat Papua hanya tersenyum tipis. Karena kami tahu: itu bukan pahlawan kami. Itu pahlawan mereka.

Comments