1 Desember: Memori, Identitas, dan Refleksi HAM Indonesia

1 Desember: Memori, Identitas, dan Refleksi HAM Indonesia 

Papua menyalakan ingatan, identitas, dan luka sejarah, menguji kematangan demokrasi Indonesia dan hak rakyatnya untuk hidup aman.


Menjelang 1 Desember, Tanah Papua memasuki sebuah konteks emosional dan historis yang rapuh, namun tetap lestari. Tanggal tersebut, lebih dari sekadar peringatan politik, berfungsi sebagai ruang di mana ingatan, identitas, dan luka sejarah saling bertaut, sekaligus membuka kembali wacana mengenai hubungan yang belum terselesaikan antara negara dan masyarakatnya.

Sebagai seorang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia, saya memandang 1 Desember sebagai cermin yang memaksa kita menatap kegagalan kolektif bangsa ini dalam memahami pergulatan batin orang Papua—suatu kegagalan yang bukan hanya politis, tetapi juga moral dan spiritual.


Sebuah Memori, Luka, dan Identitas

Bagi banyak orang Papua, 1 Desember adalah penanda keberadaan. Ia menghidupkan kembali momen 1961 ketika Nieuw Guinea Raad menetapkan Manifesto Politik Papua dan Bintang Kejora untuk pertama kalinya dikibarkan sebagai simbol martabat bangsa yang selama berabad-abad ditekan oleh kolonialisme dan tarik-menarik kepentingan geopolitik.

Ingatan itu tidak hilang meski sejarah kemudian membelokkan arah politik Papua melalui intervensi internasional, tekanan diplomatik, dan rangkaian proses yang masih diperdebatkan hingga kini. Meski negara melihat 1 Desember dengan kecurigaan dan stigma separatisme, bagi masyarakat Papua sendiri ia tetap menjadi simbol kehidupan: sebuah penegasan bahwa mereka memiliki sejarah yang tidak dapat dijelaskan hanya oleh narasi pembangunan dan keamanan.


Bayang-Bayang Orde Baru dalam Penanganan 1 Desember

Namun negara, yang masih mewarisi nalar Orde Baru, menanggapi perayaan ini dengan logika kawat berduri. Setiap tahun aparat dikerahkan, dan setiap ekspresi identitas—meskipun berbentuk doa, nyanyian rohani, atau penyalaan lilin—dipandang sebagai ancaman.

Ketidakmampuan negara membedakan ekspresi damai dari ancaman kekerasan adalah refleksi dari sebuah trauma institusional: ketakutan historis kehilangan wilayah, bayang-bayang tragedi Timor Leste, dan keyakinan keliru bahwa stabilitas hanya dapat dijaga dengan senjata.

Ironisnya, pendekatan yang didorong oleh ketakutan justru memperdalam jurang ketidakpercayaan dan mendorong eskalasi yang seharusnya dapat dicegah. Sejalan dengan itu, Laksamana Purn. Soleman B. Ponto — dalam bukunya Jangan Lepas Papua — memperingatkan bahwa pelanggaran HAM dalam penanganan militer di Papua bisa menjadi pintu bagi keterlibatan komunitas internasional. 

Ia menganalogikan bahwa “Papua adalah ibarat ‘nona manis’ yang banyak diinginkan oleh pihak luar”, dan menekankan bahwa negara harus menjaga kompas moral serta landasan hukumnya agar tetap menghormati martabat rakyat Papua.


Aceh dan Timor Leste: Preseden Keberanian Politik Indonesia 

Jika kita menengok sejarah Indonesia sendiri, kita tahu bahwa negara sebenarnya mampu mengambil langkah politik yang berani ketika situasi benar-benar mendesak. 

Aceh menjadi salah satu contohnya. Setelah puluhan tahun konflik bersenjata dengan ribuan korban jiwa, Indonesia akhirnya membuka ruang perundingan yang setara dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005—sebuah keputusan politik yang menuntut keberanian moral untuk menyadari bahwa kekerasan tidak menghasilkan solusi berkelanjutan.

Begitu pula Timor Leste, yang meskipun sejarahnya penuh kekerasan dan kontroversi, akhirnya memperoleh penghormatan Indonesia terhadap hasil referendum pada 30 Agustus 1999. Langkah ini—meski pahit bagi sebagian pihak—menunjukkan kemampuan negara untuk bertindak demokratis meski harus menanggung biaya politik yang tinggi.


Mengapa Papua Menjadi Pengecualian? 

Pertanyaan yang menggantung adalah: jika negara mampu melakukan itu semua, mengapa Papua menjadi pengecualian? 

Mengapa di Papua, pendekatan demokratis begitu sulit tumbuh? 

Mengapa kita terus terjebak dalam sebuah hubungan yang kaku dan penuh kecurigaan, seolah negara takut melihat Papua sebagai subjek politik yang setara? 

Apakah karena Papua terlalu kaya, terlalu strategis, terlalu jauh, atau terlalu berbeda warna kulit dan tekstur rambutnya? 

Pertanyaan-pertanyaan itu tidak mudah dijawab, tetapi penting untuk diajukan demi melihat dengan jernih akar kegagalan kita.


Menguji Kedewasaan Demokrasi Indonesia

1 Desember, dengan segala simbol dan beban sejarahnya, semestinya membuka kesempatan bagi negara untuk melakukan refleksi moral. 

Kematangan sebuah demokrasi diukur dari seberapa sanggup ia mendengarkan suara yang tidak nyaman. Kebebasan berekspresi bukanlah ancaman terhadap kedaulatan; ia adalah ruang dialog di mana negara dan rakyatnya dapat bertemu sebagai sesama manusia. Ketakutan negara terhadap simbol identitas justru menandakan rapuhnya fondasi kepercayaan yang seharusnya menopang kehidupan berbangsa.

Setiap tahun, ketika orang Papua hanya ingin berdoa atau berkumpul dalam keheningan pada 1 Desember, banyak dari mereka melakukannya dalam suasana penuh waspada. Anak-anak tumbuh dengan ingatan akan patroli aparat dan desas-desus penangkapan. Mereka belajar bahwa identitas Melanesia mereka adalah sesuatu yang harus disembunyikan—bahwa menjadi diri sendiri dapat mengundang risiko. 


Identitas dan Hak untuk Hidup Aman

Dalam momen-momen seperti ini, saya sering teringat pengalaman pribadi sebagai seorang keturunan Tionghoa yang pernah hidup di masa Orde Baru. Ada tahun-tahun ketika Imlek (Tahun Baru Cina) tidak boleh dirayakan secara terbuka; barongsai disembunyikan, bahasa leluhur dibungkam, dan perayaan yang seharusnya menjadi ruang syukur justru diperlakukan sebagai ancaman. Kami belajar bahwa identitas bisa dianggap subversif hanya karena ia berbeda dari norma politik dominan.

Paralelnya bukan untuk menyamakan tingkat penderitaan, karena pengalaman orang Papua memiliki kedalaman dan luka yang jauh lebih besar. Namun ingatan itu membuat saya memahami, walau hanya seujung kuku, bagaimana rasanya ketika sebuah identitas dikurung dalam ketakutan, ketika simbol budaya harus dirayakan dengan pintu tertutup. 

Jika dulu keluarga Tionghoa merayakan Imlek dalam bisik-bisik agar tidak didatangi aparat, orang Papua merayakan 1 Desember dalam keheningan agar tidak dituduh separatis. Keduanya menyingkapkan hal yang sama: bahwa negara bisa menciptakan trauma kolektif hanya dengan melarang sebuah identitas untuk bernapas.


Dari Politik ke Hak Asasi: Papua dan Kebutuhan untuk Hidup Tanpa Takut

Pada titik ini, persoalan Papua sudah tidak lagi berada di ranah politik belaka; ia telah memasuki wilayah yang lebih dalam, yaitu hak manusia untuk merasa aman, untuk merayakan sejarahnya sendiri, dan untuk hidup tanpa ketakutan akan negara yang seharusnya melindunginya.

Jika suatu hari 1 Desember dapat dirayakan tanpa intimidasi—ketika artikulasi identitas dan aspirasi masyarakat Papua tidak lagi dikriminalisasi, dan ketika dialog menggantikan pendekatan keamanan—maka pada hari itu Indonesia telah memenuhi komitmen moral dan konstitusionalnya. Pada titik itulah negara hadir sebagai komunitas politik yang menghargai martabat warganya, bukan sekadar menguasai teritorial. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa Indonesia benar-benar menjadi rumah bagi seluruh rakyatnya, sebuah Bhinneka Tunggal Ika yang mampu menampung serta menyerap keragaman orientasi nilai.


Penutup

Sesungguhnya, 1 Desember adalah refleksi tentang siapa kita sebagai bangsa, dan sejauh mana keberanian kita untuk mengubah sejarah yang selama ini dikendalikan oleh paranoia.

Jika Indonesia sungguh percaya pada demokrasi dan HAM, maka tugas kita bukan menaklukkan Papua, tetapi mendengar dan memahami apa yang telah terlalu lama disuarakan dengan risiko nyawa: keinginan untuk dihormati sebagai manusia yang setara. Dari titik inilah rekonsiliasi sejati—bukan sekadar stabilitas—dapat mulai dibangun. 

Bahkan jika dialog politik penuh belum memungkinkan, setidaknya harus ada ruang untuk dialog HAM yang jujur dan terbuka, untuk menegaskan perlindungan hak-hak dasar rakyat Papua dan membangun kepercayaan sebagai fondasi perdamaian.

Comments