52 Tahun TPNPB: Ujung Tombak Kemerdekaan atau Beban Perjuangan Papua?

52 Tahun TPNPB: Ujung Tombak Kemerdekaan atau Beban Perjuangan Papua?

Setelah lebih dari lima dekade perjuangan, TPNPB tetap berada di pusat dinamika Papua. Pertanyaannya: apakah mereka benar-benar garda depan kemerdekaan, atau justru menjadi beban struktural yang semakin menjerat rakyat Papua dalam siklus kekerasan dan marginalisasi?


Lahirnya TPNPB: 1973–1979 – Konsolidasi Perlawanan

TPNPB (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat) secara resmi didirikan pada 26 Maret 1973, namun akar perjuangannya telah terbentuk sejak awal 1960-an, ketika Papua Barat berada dalam masa transisi dari kolonial Belanda ke Indonesia melalui UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority). Perlawanan awal ini termasuk penyerangan markas TNI di Arfai, Manokwari, pada 28 Juli 1965, yang menjadi salah satu tonggak penolakan rakyat Papua terhadap dominasi asing.

Selain itu, proses Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 yang kontroversial menimbulkan rasa kehilangan hak menentukan nasib sendiri di kalangan tokoh Papua. Kekalahan diplomatik di arena internasional, ditambah tekanan militer, memunculkan kebutuhan akan tentara yang terstruktur; TPNPB kemudian menjadi representasi nyata aspirasi rakyat Papua untuk memiliki kekuatan yang mampu mempertahankan identitas politik dan kultural mereka sekaligus menandingi dominasi Indonesia.

Tokoh-tokoh awal Organisasi Papua Merdeka (OPM) memainkan peran sentral dalam membentuk identitas TPNPB. Komandan Hendrik Jacob Prai memimpin strategi militer, membangun komunikasi antara pasukan di pegunungan dan komando pusat, mengatur logistik, serta menjaga dukungan rakyat tetap terpelihara. Jenderal Mathias Wenda memperluas peran TPNPB di ranah eksternal, menjalin diplomasi dengan masyarakat Papua di luar negeri, memperkuat narasi politik perjuangan, dan memastikan isu Papua tetap terdengar di kancah internasional.

Sementara Seth Rumkorem, sebagai pemimpin Proklamasi Papua Barat 1 Juli 1971, menekankan bahwa perjuangan bersenjata harus disertai legitimasi politik dan landasan konstitusional, membangun embrio negara Papua Barat dan menjembatani militansi dengan proyek nation-building. Jenderal Bernard Mawen memperkuat jaringan perlawanan di wilayah perbatasan Papua Nugini dan memastikan kontinuitas organisasi saat menghadapi operasi militer yang keras, menjaga garis ideologis agar perlawanan tidak sekadar menjadi konflik bersenjata tanpa arah.

Kombinasi kepemimpinan ini menciptakan fondasi TPNPB sebagai organisasi yang sadar akan pentingnya legitimasi politik, dukungan rakyat, dan kontinuitas ideologis. Meskipun persenjataan terbatas, mereka berhasil melakukan serangan kecil terhadap sejumlah pos militer Indonesia di Pegunungan Tengah dan pesisir selatan, menegaskan bahwa aspirasi kemerdekaan Papua tetap hidup.


Dekade 1980-an – Adaptasi dan Strategi Bertahan

Memasuki 1980-an, tekanan militer Indonesia meningkat signifikan, termasuk operasi di pegunungan dan pesisir. Strategi perlawanan bergeser dari serangan sporadis menjadi gerilya terstruktur, menekankan mobilitas, pertahanan basis, dan pemanfaatan medan sulit sebagai keuntungan.

Tokoh-tokoh baru muncul untuk menjaga konsolidasi gerakan dan menjawab dilema generasi, yakni mempertahankan militansi sambil menjaga legitimasi moral dan politik di mata rakyat. Terianus Satto, yang kelak menjadi Kepala Staf Umum TPNPB, Kelly Kwalik, dan Goliath Tabuni memainkan peran penting dalam menegakkan jaringan operasional dan basis sipil. TPNPB berhasil mempertahankan wilayah terpencil, membangun sel-sel operasi gesit, serta menjaga komunikasi dengan masyarakat untuk meminimalkan kerugian.

Beberapa operasi yang menegaskan posisi TPNPB sebagai ujung tombak perjuangan Papua antara lain aksi Kelly Kwalik dalam penyanderaan ekspedisi penelitian di Mapenduma pada 1996, serangan di sekitar tambang Freeport yang disertai pengibaran bendera Papua, serta keterlibatan mediator internasional seperti Komite Palang Merah Internasional dalam beberapa krisis sandera. Keberhasilan operasi-operasi ini menegaskan perbedaan TPNPB dari kelompok bersenjata lain yang dianggap kriminal biasa oleh pemerintah, sekaligus memperlihatkan strategi gerilya dan konsolidasi sipil-militer yang khas pada era 1980-an.


Dekade 1990-an – Tekanan Militer Intensif

1990-an menjadi periode paling menegangkan bagi TPNPB. Operasi militer Indonesia meningkat dengan kombinasi pasukan besar, intelijen, dan pembangunan “desa-desa model” untuk mengisolasi basis TPNPB. Serangan tetap dilakukan, tetapi fokus dialihkan pada mobilitas, pertahanan basis, dan penghindaran konfrontasi terbuka.

Tokoh-tokoh komando menekankan pentingnya hubungan dengan masyarakat sipil dan diaspora untuk mempertahankan legitimasi politik. Di sini, Jacob Rumbiak tampil sebagai figur kunci dalam perjuangan non-kekerasan, menggalang dukungan internasional bagi kemerdekaan Papua Barat melalui advokasi ke PBB dan lembaga global lainnya. Meski TPNPB tetap tangguh mempertahankan eksistensi organisasi, konflik berkepanjangan mulai menimbulkan beban sosial, termasuk risiko bagi warga sipil di sekitar basis operasi, menegaskan kompleksitas perjuangan bersenjata bersamaan dengan diplomasi internasional.


Dekade 2000-an – Globalisasi, Media, dan Diplomasi Internasional

Abad ke-21 membawa dinamika baru. Globalisasi media dan teknologi informasi memungkinkan TPNPB menjangkau audiens internasional lebih efektif, menjaga narasi politik agar tidak tenggelam dalam propaganda pemerintah. 

Pada periode ini, TPNPB menjadi representasi paling jelas dari aspirasi kemerdekaan Papua. Namun, ketahanan panjang perlawanan menyingkap dilema mendasar: konflik ini menimbulkan frustrasi dalam masyarakat sipil dan diaspora, sementara ancaman eskalasi kekerasan tetap menghantui kehidupan sehari-hari.


Dekade 2010-an hingga 2025 – Ambivalensi dan Tantangan Generasi Baru

Memasuki 2010-an, TPNPB menghadapi kompleksitas baru: modernisasi militer Indonesia, tekanan internasional yang berubah-ubah, dan kemunculan generasi baru pejuang. Dilema moral menjadi semakin tajam: menyeimbangkan militansi dengan risiko bagi rakyat sipil, sambil menjaga relevansi diplomasi internasional.

Hingga 2025, usia TPNPB mencapai 52 tahun, memperlihatkan ambivalensi mendasar: organisasi ini tetap menjadi ujung tombak perlawanan dan penjaga aspirasi kemerdekaan Papua, tetapi sekaligus menyingkap kegagalan struktural—konflik yang tak kunjung selesai, pelanggaran HAM berulang, dan marginalisasi sosial-ekonomi yang terus berlangsung. Generasi baru dihadapkan pada dilema kompleks: menjaga militansi, legitimasi moral, risiko sosial, dan kontinuitas narasi politik agar tetap hidup dan berdaya dorong.


Analisis Keseluruhan: Ujung Tombak atau Beban?

Harus diakui bahwa, pada usia 52 tahun, TPNPB menunjukkan resistensi luar biasa, menegaskan posisinya sebagai salah satu tentara pembebasan tertua di dunia yang terus bertahan melawan angkatan bersenjata terkuat di Asia Tenggara.

Dari tokoh awal seperti Hendrik Jacob Prai dan Mathias Wenda hingga figur muda seperti Brigadir Jenderal Egianus Kogoya, organisasi ini tetap relevan dalam pergerakan kemerdekaan. Kharisma Kogoya menjadikannya panutan bagi banyak generasi Z Papua, yang melihatnya sebagai simbol perjuangan dan identitas politik.

Namun, keberlangsungan perjuangan menyingkap dilema mendasar: konflik yang berkepanjangan semakin memperdalam penderitaan masyarakat, menimbulkan risiko sosial yang serius, dan menghambat jalur diplomasi yang sangat dibutuhkan. Banyak LSM internasional dan Gereja menunjukkan sikap skeptis terhadap pembelaan perjuangan bersenjata, menekankan bahwa kekerasan hanya memperburuk situasi.

Akhir kata, TPNPB tetap menjadi ujung tombak perlawanan Papua, namun sekaligus mencerminkan kegagalan struktural yang terus membelenggu rakyat. Sebagai institusi historis, organisasi ini menegaskan keberanian dan aspirasi kemerdekaan, tetapi juga menyoroti pahitnya realitas politik yang belum terselesaikan dan mendesaknya kebutuhan akan strategi advokasi yang lebih terarah dan efektif.


Rekomendasi: 

Untuk menjamin keberlanjutan perjuangan Papua, perlu dikembangkan strategi transisi dari pendekatan militer ke perjuangan politik yang lebih sistematis. Hal ini meliputi penguatan diplomasi internasional, konsolidasi organisasi sipil dan adat, serta pendidikan politik bagi generasi muda, sehingga aspirasi kemerdekaan dapat diperjuangkan secara efektif, berkelanjutan, dan minim risiko korban sipil.


Wim Anemeke 

Comments