Aktivisme HAM sebagai Karier: Netralitas Tanpa Suara Korban
Aktivisme HAM sebagai Karier: Netralitas Tanpa Suara Korban
Aktivisme Hak Asasi Manusia modern sering berubah menjadi karier formal, mengutamakan prosedur dan citra, hingga keberpihakan moral terhadap korban tersisihkan.
Dalam dunia hak asasi manusia (HAM), aktivisme sering dipandang sebagai bentuk keberpihakan terhadap mereka yang menderita, sebagai perlawanan moral terhadap ketidakadilan, dan sebagai usaha untuk menegakkan kebenaran di tengah kekuasaan yang menindas.
Namun, kenyataannya, muncul generasi aktivis HAM yang lebih menekankan karier profesional, formalitas birokratis, dan netralitas kaku. Aktivisme semacam ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah kerja mereka benar-benar untuk korban, atau hanya untuk reputasi dan kelangsungan karier pribadi?
Ketika Aktivisme Menjadi Profesi
Profesionalisasi sektor HAM memang memberi legitimasi, akses terhadap sumber daya, dan kemampuan memengaruhi kebijakan. Tetapi profesionalisasi juga membawa risiko besar. Aktivisme bisa berubah menjadi sekadar mata pencaharian.
Aktivis yang menekankan netralitas dan prosedur seringkali menjaga jarak dengan penderitaan nyata korban. Mereka lebih sibuk memastikan laporan memuaskan donor, rekomendasi dapat diterima semua pihak, dan hubungan dengan pemerintah atau lembaga internasional tetap aman. Dalam konteks ini, netralitas bukan lagi alat objektivitas, melainkan strategi untuk melindungi posisi dan citra profesional.
Netralitas yang Mengorbankan Moralitas
Masalah terbesar muncul ketika netralitas formal bertabrakan dengan moralitas. Aktivis HAM yang terlalu fokus pada prosedur sering kali mengubah kejahatan kemanusiaan menjadi angka statistik, menggeneralisasi kasus, dan menghindari penilaian etis yang tegas.
Dalam konteks pelanggaran sistemik—baik berupa diskriminasi struktural, kekerasan negara, maupun genosida budaya—laporan HAM bisa menjadi terlalu diplomatis dan jauh dari kinerja advokasi. Korban tidak membutuhkan bahasa resmi yang menjaga jarak, melainkan advokasi yang menegakkan keadilan di lapangan.
Birokratisasi HAM dan Hilangnya Suara Korban
Fenomena ini mencerminkan birokratisasi HAM, di mana aktivisme berubah menjadi urusan administratif. Proses dan mekanisme menjadi lebih penting daripada kerja nyata, sehingga HAM bukan lagi menjadi sarana untuk menegakkan keadilan substantif.
Studi oleh Human Rights Watch dan Amnesty International (2018–2022) menunjukkan bahwa banyak kesaksian tentang penyiksaan, penghilangan, dan intimidasi di Papua tidak dimasukkan ke dalam laporan resmi karena dianggap tidak memenuhi “standar pembuktian”, padahal kesaksian tersebut konsisten dan berulang.
Temuan ini memperlihatkan bagaimana standar metodologis yang tampak objektif justru berfungsi sebagai filter yang menyisihkan pengalaman korban, sekaligus mempertegas kritik bahwa profesionalisasi HAM sering menjauhkan aktivisme dari keberpihakan yang seharusnya.
Apakah Netralitas Bisa Dibenarkan?
Pertanyaannya kemudian, apakah pendekatan ini bisa dibenarkan? Dari sisi institusi, netralitas formal bisa dipandang sebagai langkah pragmatis untuk menjaga akses dan kelangsungan organisasi.
Namun secara etis, pendekatan ini sangat rentan dikritik karena menggeser fokus dari korban ke keuntungan pribadi. Netralitas yang kaku bisa menjadi alibi untuk ketidakpedulian, sementara HAM seharusnya menuntut keberpihakan yang jelas dan keberanian untuk menghadapi ketidakadilan.
HAM Sebagai Panggilan Moral, Bukan Karier
Dengan kata lain, aktivisme HAM yang berkarier dan birokratis sering kali lebih mementingkan citra daripada pembelaan sejati terhadap korban.
Hal ini menegaskan satu hal: HAM bukan sekadar disiplin teknis. HAM adalah panggilan hati nurani. Ia menuntut partisipasi, kesediaan menghadapi ketidaknyamanan, dan penolakan terhadap netralitas yang menjadi alibi bagi ketidakadilan.
Aktivisme tanpa spirit: Aman Tapi Hampa
Aktivisme yang kehilangan keberpihakan itu ibarat tukang obat yang hanya menulis resep dari jauh, tanpa menyentuh pasien atau memahami penyakitnya.
Secara formal, pekerjaannya masih benar, tapi ia kehilangan esensi pelayanan: menyembuhkan yang sakit. Aktivisme seperti ini steril, jauh dari penderitaan korban yang seharusnya menjadi pusat perjuangan.


Comments
Post a Comment