Apakah Membela HAM Adalah Sebuah Karir? Refleksi Moral bagi Menteri HAM RI
Apakah Membela HAM Adalah Sebuah Karir? Refleksi Moral bagi Menteri HAM RI
Membela HAM bukan sekadar karir atau jabatan, tetapi panggilan moral yang menuntut keberanian, integritas, dan konsistensi, terutama di tengah pelanggaran hak di Papua.
Kehadiran Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) RI, Natalius Pigai, di kampus STPMD “APMD” Yogyakarta pada 13 November 2025, menghadirkan momen yang sarat makna bagi kita yang mencoba memahami hakikat membela HAM. Acara sarasehan dan pulang kampus itu, yang disertai tarian adat Papua dan penyerahan simbolis buku “Pelanggaran HAM di Tanah Papua”, bukan sekadar seremonial akademik, tetapi panggilan untuk merenungkan apakah membela HAM bisa disederhanakan menjadi sebuah karir, ataukah ia merupakan panggilan moral yang menuntut keberanian, konsistensi, dan integritas yang tiada kompromi.
Dalam forum itu, Pigai menegaskan bahwa ia kini berada di posisi eksekutif dan tidak layak ditanya soal Papua. Pernyataan ini menimbulkan dilema etis yang mendasar: jika seorang menteri HAM, yang memiliki wewenang dan akses untuk menegakkan keadilan, memilih mengedepankan batas formal jabatannya daripada tanggung jawab moralnya, apakah membela HAM hanya menjadi jalur karir? Di satu sisi, jabatan memberikan legitimasi dan kesempatan mempengaruhi kebijakan. Di sisi lain, HAM menuntut keberanian yang sering kali melampaui batas jabatan, menuntut keteguhan hati yang tidak bisa diukur dengan pangkat atau status administratif.
Pernyataan Pigai tentang aktivis masa kini yang “cukup cakap secara ilmu, tetapi kurang mental” menjadi pengingat keras bahwa HAM tidak bisa dipandang sebagai profesi biasa. Kekhawatiran tentang “kekeringan aktivis” bukan sekadar kritik retoris; ia adalah pengamatan terhadap realitas di mana integritas, keberanian, dan kesetiaan moral sering kalah oleh kenyamanan birokrasi dan pertimbangan politik. HAM bukanlah jalur karir di mana promosi atau jabatan menjadi tolok ukur keberhasilan; membela hak asasi manusia adalah panggilan yang menuntut kesetiaan pada kebenaran, sekalipun hal itu menempatkan seorang pada posisi yang sulit, bahkan berisiko.
Ironisnya, budaya birokrasi dan politik sering menciptakan ironi yang tajam. Narasi resmi sering menekankan sejarah perjuangan Indonesia melawan kolonialisme Belanda dan pendudukan Jepang, menyoroti kelicikan dan kekejaman mereka sebagai pembelajaran akhlak. Namun, di saat yang sama, pola represi terhadap rakyat di wilayah seperti Papua, maupun dalam sejarah Timor Timur, menunjukkan bahwa metode yang digunakan—pengawasan militer, intimidasi, dan pembungkaman suara rakyat—tidak jauh berbeda dari praktik kolonial yang dikritik. Perbedaan konteks tidak menghapus kenyataan bahwa narasi anti-kolonial bertentangan dengan praktik nyata di lapangan, dan di sinilah peran moral pembela HAM menjadi sangat krusial.
Ketika Pigai menekankan pentingnya oposisi dan kritikus untuk mengisi ruang kosong yang tak dijangkau pemerintah, ia menyinggung sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar politik formal. Pembela HAM, dalam pengertian sejati, adalah mereka yang berani menantang dominasi, yang bersedia menegakkan kebenaran ketika negara atau institusi gagal, dan yang menempatkan martabat manusia di atas segala pertimbangan strategis atau keuntungan jabatan. Jabatan menteri tidak seharusnya menjadi alasan untuk mundur dari tanggung jawab etis. Justru sebaliknya, posisi formal memberi peluang untuk memastikan bahwa hak-hak masyarakat yang terpinggirkan, seperti rakyat Papua, tidak diabaikan.
Kehadiran simbolis buku tentang pelanggaran HAM yang diserahkan oleh mahasiswa Papua kepada Pigai menjadi pengingat konkret bahwa HAM bukan sekadar teori atau retorika. Ia adalah suara mereka yang sering tidak terdengar, wajah-wajah yang menderita di depan mata, dan sejarah panjang ketidakadilan yang menunggu perhatian serius dari mereka yang memiliki kuasa untuk bertindak. Ketika membela HAM dipandang sebagai karir biasa, suara-suara ini berisiko terpinggirkan oleh birokrasi dan politik, seolah integritas moral dapat digantikan oleh jabatan atau prosedur administratif.
Menjadi pembela HAM bukanlah tentang jabatan, promosi, atau popularitas. Ia adalah kewajiban yang menuntut keberanian untuk bersuara di tengah intimidasi, konsistensi dalam memperjuangkan keadilan, dan kesetiaan pada kebenaran meski menghadapi risiko politik atau profesional. Bagi Menteri HAM, refleksi ini menjadi penting: jabatan memberi akses dan wewenang, tetapi tidak boleh memadamkan kewajiban moral. HAM adalah panggilan hati nurani yang menuntut tindakan, bukan sekadar posisi eksekutif.
Dari tarian adat Papua yang menyambut Pigai hingga wajah mahasiswa yang menyerahkan buku simbolik itu, kita diingatkan bahwa membela HAM adalah proses yang hidup dan dinamis, selalu menuntut interaksi dengan realitas yang sering sulit. Ia bukan karir yang bisa diprediksi atau diukur dengan pangkat; ia adalah perjuangan etis yang menuntut integritas, keberanian, dan komitmen pada kemanusiaan. Dalam konteks Papua, hal ini menjadi lebih mendesak karena setiap sikap diam, setiap ketidakpedulian, berarti mempertahankan ketidakadilan dan penderitaan.
Akhirnya, pertanyaan apakah membela HAM adalah sebuah karir harus dijawab dengan kesadaran moral yang dalam. Posisi eksekutif memberi akses, tetapi bukan penghapus tanggung jawab. Membela HAM berarti berdiri di sisi kebenaran, menentang ketidakadilan, dan memastikan hak setiap manusia dihormati. Ia adalah panggilan hati nurani yang menuntut keberanian yang tidak bisa ditawar, sebuah tanggung jawab yang melampaui jabatan, dan panggilan moral yang seharusnya dipegang teguh oleh setiap pembela HAM, termasuk Menteri HAM RI sendiri.
Call to Action untuk Natalius Pigai:
“Bapak Natalius Pigai, dahulu Bapak berani bersuara lantang menentang pelanggaran HAM di Papua, menjadi suara yang tak tergoyahkan bagi keadilan di negeri ini. Hari ini, ketika tantangan masih sama beratnya, tulisan ini ingin mengingatkan agar keberanian itu tidak memudar atau terseret arus politik, tetapi tetap menjadi mercusuar bagi masyarakat adat dan para aktivis muda. Membela HAM bukan sekadar karir—ini adalah panggilan hati yang menuntut konsistensi, keberanian, dan integritas yang sama seperti dahulu.”


Comments
Post a Comment