Belanda dan Indonesia: Dua Wajah Kolonialisme, Satu Luka Sejarah Papua

Belanda dan Indonesia: Dua Wajah Kolonialisme, Satu Luka Sejarah Papua

Dari kolonialisme Belanda ke Indonesia, Papua mengalami penjajahan berlapis: tanahnya dieksploitasi, budaya ditekan, dan suaranya dibungkam, namun perlawanan dan kesadaran politik terus hidup.


Bagi banyak orang Papua, sejarah tidak bergerak dari penjajahan menuju kemerdekaan sebagaimana narasi resmi Indonesia, melainkan dari satu bentuk kolonialisme menuju bentuk lainnya. Penjajahan tidak berakhir ketika bendera Belanda diturunkan, dan ia juga tidak berhenti ketika bendera Indonesia dikibarkan.

Dalam memori kolektif Papua, dua kekuasaan itu hanyalah dua wajah dari struktur yang sama: kekuatan luar yang masuk, mengklaim tanah, mengubah tatanan sosial, dan memutus suara orang asli. Sebab itulah para intelektual Papua menyebut pengalaman mereka sebagai “kolonialisme berlapis”—Belanda sebagai kolonial lama, Indonesia sebagai kolonial baru.


Era Belanda: Kepemilikan Tanpa Kepedulian

Ketika Belanda mulai mengklaim Papua sejak awal abad ke-19, wilayah ini tidak pernah benar-benar menjadi prioritas ekonomi kolonial sebagaimana Jawa atau Sumatra. Namun penjajahan tetap berlangsung, meski dalam bentuk yang berbeda. Papua dijadikan pos periferi: sebuah tanah yang perlu dimiliki, tetapi tidak harus dibangun. Administrasi dijalankan dari kejauhan dan cenderung minimal, tetapi tetap menyisakan jejak kontrol yang nyata. Kekuasaan Belanda bekerja terutama melalui lembaga pendidikan dan misi Kristen—Katolik maupun Protestan—yang diperkenalkan sebagai “pemurnian moral”, tetapi sekaligus menjadi alat pembentukan subjek kolonial yang jinak.

Sekolah-sekolah misionaris memperkenalkan bahasa baru, struktur disiplin baru, dan cara berpikir baru. Pada satu sisi, ini membuka akses pendidikan bagi sebagian orang Papua. Namun pada sisi lain, pendidikan itu dirancang bukan untuk menciptakan elite yang kritis, melainkan tenaga yang patuh dan tidak menantang otoritas kolonial. Ironisnya, justru dari ruang-ruang pendidikan inilah lahir generasi Papua pertama yang mulai mempertanyakan masa depan politik bangsanya.

Ketika gelombang dekolonisasi melanda dunia pada 1950-an, Belanda mencoba mempercepat proyek “pematangan Papua”. Dewan Nieuw-Guinea Raad dibentuk, bendera Bintang Kejora diperkenalkan, dan wacana kemerdekaan bertahap dikembangkan. Namun semua ini tetap dilakukan dalam pola paternalistik: Belanda yang merancang, Papua yang harus mengikuti. Orang Papua menjadi subjek pembangunan yang diarahkan, bukan agen historis yang menentukan nasib sendiri.


Transisi ke Indonesia: Transfer Kolonial Tanpa Suara Papua

Perubahan paling dramatis terjadi bukan karena pilihan rakyat Papua, tetapi keputusan kekuatan internasional. Perjanjian New York 1962 menyerahkan administrasi Papua kepada Indonesia tanpa meminta persetujuan orang asli atas tanah mereka sendiri. Ketika Indonesia masuk pada 1963, banyak orang Papua melihatnya bukan sebagai pembebas dari kolonialisme, melainkan penerus kekuasaan kolonial yang diwariskan Belanda. Situasi semakin diperburuk oleh PEPERA 1969, di mana hanya segelintir orang dipilih untuk mewakili seluruh populasi, banyak di antaranya di bawah tekanan dan intimidasi.

Bagi orang Papua, PEPERA bukanlah referendum, tetapi ritual legitimasi untuk menutupi transfer kolonial. Integrasi menjadi istilah resmi, tetapi yang dirasakan adalah hilangnya otonomi, suara, dan harga diri kolektif.


Indonesia Kolonial Baru: Kedekatan yang Mencekik

Jika kolonialisme Belanda ditandai oleh kehadiran minimal, kolonialisme Indonesia ditandai oleh kehadiran yang sangat intens. Negara baru ini memasuki Papua dengan proyek politik yang jelas: meneguhkan integrasi melalui militer, transmigrasi, dan pembangunan. Dalam dekade-dekade awal, Papua berubah menjadi wilayah paling termiliterisasi di Indonesia, di mana aparat keamanan lebih hadir daripada pegawai sipil. Operasi militer di banyak daerah menciptakan trauma mendalam: pembunuhan, penyiksaan, penghilangan paksa, dan pengeboman kampung menjadi bagian dari memori kolektif yang tidak pernah benar-benar sembuh.

Di saat yang sama, pembangunan dijadikan ideologi yang membungkus proyek kolonial dalam bahasa kemajuan. Papua digambarkan sebagai daerah “tertinggal” yang harus “dimodernisasi”, padahal selama puluhan ribu tahun, masyarakat adat Papua memiliki sistem ekonomi, ekologi, dan spiritualitas yang membuat mereka bertahan di tanah yang keras dan sakral. Program pembangunan sering tidak berdasar pada kebutuhan orang Papua, melainkan kebutuhan negara dan pasar. Jalan-jalan besar dibangun untuk membuka akses industri ekstraktif; gunung-gunung keramat dibelah menjadi tambang; tanah adat berubah menjadi konsesi perusahaan; dan demografi kota digeser lewat transmigrasi.

Dalam narasi resmi, semua ini adalah manifestasi dari persatuan nasional. Dalam pengalaman Papua, ini adalah kolonialisme yang semakin kuat, yang hadir dengan wajah pembangunan namun menyisakan jejak penyingkiran.


Keteguhan Papua: Dari Objek Penjajahan Menjadi Subjek Sejarah

Meski dipaksa hidup dalam dua model kolonial, Papua tidak pernah benar-benar diam. Di era Belanda, muncul generasi terdidik yang merintis gagasan tentang masa depan politik Papua. Di era Indonesia, lahirlah bentuk perlawanan baru: gerakan kultural yang menegaskan identitas Melanesia, teologi pembebasan yang menafsirkan penderitaan sebagai panggilan profetik, aktivisme mahasiswa, hingga gerakan diplomasi internasional yang semakin diperhitungkan.

Dalam setiap fase, Papua menunjukkan dirinya bukan sekadar objek sejarah, tetapi subjek yang terus mencari cara untuk memulihkan martabatnya.


Kolonialisme yang Berganti Bendera

Melihat perjalanan panjang ini, jelas bahwa kolonialisme di Papua tidak hilang; ia hanya berganti bendera. Belanda pergi, Indonesia datang; tetapi struktur yang menempatkan orang Papua sebagai “yang diatur” tetap bertahan. 

Bagi banyak orang Papua, kemerdekaan bukan sekadar perubahan administrasi, melainkan pemulihan suara dan kedaulatan yang hilang akibat dua abad pengingkaran. Cerita Papua bukanlah pinggiran dari sejarah Indonesia, melainkan kisah utuh dari sebuah bangsa yang masih berjuang meneguhkan dirinya di tengah dua gelombang kolonialisme.


Wim Anemeke 

Comments