Demokrasi Adat dan Jalan Papua Menuju Kemanusiaan
Demokrasi Adat dan Jalan Papua Menuju Kemanusiaan
Di Tanah Papua, demokrasi adat bukan sekadar mekanisme suara, melainkan cara hidup yang menjalin manusia — tanah — leluhur dalam harmoni. Artikel ini mengajak membaca ulang demokrasi melalui kearifan lokal Papua, bukan meniru model asing.
Papua, dengan gunung yang menjulang, lembah yang menenun kabut pagi, dan pantai yang membentang dengan gelombang yang menari di tepiannya, sejak awal bukanlah ruang kosong yang menunggu untuk 'diisi' oleh konsep-konsep politik dari luar. Ia sudah memiliki tatanan — tidak dalam bentuk negara modern yang tersusun dalam undang-undang tertulis, tetapi dalam jalinan hubungan yang lebih tua daripada tulisan: hubungan manusia dengan tanah, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan arwah-leluhur yang menjaga keseimbangan kehidupan. Dalam ruang ini, demokrasi bukan sekadar mekanisme pengambilan suara, melainkan sebuah cara hidup yang menjunjung keseimbangan, musyawarah, dan penghormatan terhadap suara alam.
Demokrasi Tanpa Mayoritas, Kepemimpinan Tanpa Dominasi
Demokrasi adat lahir bukan dari filsafat liberal atau doktrin partai, melainkan dari kebutuhan organik masyarakat untuk menjaga harmoni. Ia tidak mengenal oposisi dalam arti barat — karena konflik bukanlah sesuatu yang harus dimenangkan, tetapi disembuhkan. Dalam honai, di bawah cahaya api, keputusan tidak diambil dengan mayoritas yang menekan minoritas, melainkan dengan kesepakatan yang lahir dari kesediaan untuk mendengar hingga semua merasa diakui. Di sini, legitimasi bukan datang dari kotak suara, tetapi dari keseimbangan sosial dan spiritual yang dirasakan bersama.
Keadilan tidak bersandar pada hukum tertulis, melainkan pada rasa yang terjaga — rasa malu, rasa hormat, rasa tanggung jawab. Seperti dikatakan Markus Haluk, 'Kepala suku makan terakhir,' yang menegaskan prinsip kepemimpinan dalam tradisi Melanesia: pemimpin sejati adalah yang melayani komunitasnya, bukan yang dilayani. Kepemimpinan tidak diukur dari kekuasaan atau akumulasi pribadi, tetapi dari kemampuan memprioritaskan kesejahteraan orang lain dan menjaga keharmonisan sosial.
Demokrasi yang Tidak Menghitung Suara, tetapi Menimbang Relasi
Sementara demokrasi modern sering mengabdi kepada prosedur, demokrasi adat mengabdi kepada relasi. Di banyak tempat, demokrasi formal menjadikan politik sebagai ruang perebutan kuasa dan distribusi sumber daya. Dalam sistem adat, kekuasaan bukanlah milik yang kuat, tetapi amanah dari leluhur untuk menjaga keberlanjutan hidup bersama. Seorang kepala suku yang arif tidak dinilai dari berapa banyak kekayaan yang ia kumpulkan, tetapi seberapa baik ia menenangkan konflik dan mengembalikan keseimbangan. Dengan demikian, demokrasi adat lebih ekologis — tidak memisahkan manusia dari lingkungan, karena alam sendiri adalah bagian dari struktur sosial yang memiliki hak dan suara, meski tidak berbicara dengan bahasa manusia.
Jika demokrasi modern sering menimbulkan alienasi, demokrasi adat justru merawat keterhubungan. Ketika manusia modern berbicara tentang hak asasi individu, masyarakat adat telah lama hidup dengan kesadaran bahwa aku tidak mungkin ada tanpa kita. Kedaulatan, dalam konteks adat, bukan soal batas teritorial, tetapi soal kesetiaan pada tatanan kosmis yang menjaga hubungan antara manusia, tanah, dan roh. Oleh karena itu, demokrasi adat jauh lebih cocok bagi Papua — bukan karena menolak modernitas, tetapi karena menolak kehilangan makna kemanusiaan dalam modernitas yang sempit.
Bernilai karena Menghubungkan, Bukan Menguntungkan
Kita tidak bisa membicarakan demokrasi tanpa menyertakan ekonomi. Ekonomi adat tumbuh dari akar kesadaran yang sama, tidak beroperasi berdasarkan logika akumulasi, melainkan melalui logika pertukaran yang memperkuat jaringan sosial.
Dalam pandangan ekonomi kapitalis, nilai suatu benda diukur dari harga; dalam pandangan ekonomi sosialis, nilai diukur dari manfaat kolektif; tetapi dalam ekonomi adat, nilai diukur dari hubungan yang diciptakannya. Ketika seseorang memberikan hasil kebunnya kepada tetangga, itu bukan transaksi — itu adalah cara untuk memastikan kehidupan tetap berputar, agar kelimpahan tidak berhenti di satu tangan. Sirkulasi rezeki adalah sirkulasi kehidupan itu sendiri.
Kapitalisme, dengan dalih kebebasan, menciptakan sistem yang mengubah alam menjadi komoditas dan manusia menjadi alat produksi. Sosialisme, dengan ideal pemerataan, sering kali mereduksi individu menjadi angka dalam rencana besar negara. Keduanya, meski berbeda dalam arah, berbagi asumsi yang sama: bahwa ekonomi adalah persoalan mengelola sumber daya demi hasil yang efisien. Dalam ekonomi adat, efisiensi bukan tujuan, karena tujuan adalah keseimbangan. Alam tidak dieksploitasi, karena ia bukan objek; ia adalah kerabat. Tidak ada konsep overproduction dalam adat, sebab kelebihan dianggap tanda ketidakseimbangan, panggilan untuk berbagi.
Sistem ekonomi adat juga menolak dikotomi antara ekonomi dan moralitas. Dalam kapitalisme, transaksi ekonomi bisa berlangsung tanpa etika; dalam sosialisme, etika digantikan oleh doktrin kolektivitas. Dalam adat, ekonomi adalah bagian dari kehidupan spiritual — setiap tindakan produksi dan konsumsi selalu terhubung dengan ritual, dengan rasa syukur kepada sumber kehidupan. Dengan demikian, ekonomi adat adalah ekonomi yang menolak keterasingan; ia menolak memisahkan manusia dari makna tindakannya. Ia lebih manusiawi karena menempatkan manusia bukan di atas alam, melainkan di dalamnya.
Inkulturasi: Kunci Integrasi Demokrasi Adat Papua
Jika ada yang bertanya bagaimana membangun jembatan antara demokrasi adat Papua dan sistem negara modern, jawabannya adalah melalui inkulturasi dan adaptasi lokal. Misalnya, keputusan penting di tingkat kampung atau distrik tetap dapat dilakukan melalui musyawarah adat, tetapi diakui secara resmi oleh pemerintah melalui peraturan desa atau daerah.
Pendekatan ini memungkinkan nilai-nilai adat—seperti harmoni sosial, tanggung jawab bersama, dan hubungan dengan alam—tetap dijaga, sambil tetap mematuhi aturan negara. Dengan demikian, masyarakat adat dapat berperan aktif dalam pembangunan tanpa kehilangan identitasnya, dan demokrasi dipahami bukan hanya sebagai suara mayoritas, tetapi juga sebagai sarana keadilan dan kelestarian budaya. Menguatkan demokrasi adat di Papua akan membuat kebijakan publik lebih partisipatif, tata kelola sumber daya lebih berkelanjutan, dan ekonomi lebih adil melalui solidaritas lokal.
Modernitas yang Mengakar, Bukan Menggusur
Papua hari ini berada di persimpangan antara sistem yang datang dari luar dan sistem yang telah hidup di dalam jiwa rakyatnya selama ribuan tahun. Modernitas menawarkan efisiensi dan kemajuan, tetapi juga membawa risiko kehilangan akar. Demokrasi adat bukan berarti menutup diri dari dunia, tetapi mencari cara untuk berdiri di dunia tanpa kehilangan arah mata angin. Mungkin, bagi Papua, jalan ke depan bukanlah meniru demokrasi liberal atau sosialisme negara, melainkan menggali lagi cara sendiri — cara yang menempatkan kehidupan sebagai pusat politik, dan keseimbangan sebagai inti ekonomi.
Sebab pada akhirnya, keberadaban sejati tidak diukur dari seberapa banyak kita meniru dunia luar, melainkan seberapa jujur kita menjaga kebenaran yang tumbuh dari tanah sendiri. Demokrasi adat, dengan segala kesederhanaannya, mungkin justru mengandung kebijaksanaan yang dicari dunia modern: bahwa manusia tidak harus memilih antara kebebasan dan kebersamaan, antara kemajuan dan keberlanjutan. Ia hanya perlu ingat bagaimana menjadi manusia di hadapan sesamanya — dan di hadapan bumi yang sama-sama memberinya hidup.
Wim Anemeke
Aktivis masyarakat adat Papua


Comments
Post a Comment