Di Bawah Kasih yang Sama: Kristiani sebagai Fondasi Persatuan Papua

Di Bawah Kasih yang Sama: Kristiani sebagai Fondasi Persatuan Papua

Hanya iman Kristiani yang mampu menyatukan masyarakat Papua, melampaui suku, bahasa, dan ideologi, tanpa menutup ruang bagi mereka yang non-Kristen.


Papua adalah tanah yang kaya akan keberagaman, bukan hanya dari sisi budaya, bahasa, dan suku, tetapi juga dari sejarah, spiritualitas, dan cara hidup masyarakatnya. Ratusan kelompok adat dengan bahasa dan tradisi unik hidup berdampingan, masing-masing memiliki sistem kekerabatan, ritual adat, cara bercocok tanam, seni ukir, tarian, dan musik yang khas, sehingga menciptakan mosaik budaya yang kompleks dan hidup. Kondisi ini menuntut pendekatan persatuan yang sensitif dan inklusif.


Mengapa Ideologi Sekuler Sulit Menjadi Perekat Papua

Sejak lama, muncul berbagai ide yang mencoba menawarkan persatuan bagi tanah ini. Sosialisme ala Barat, dengan gagasan kepemilikan bersama, kesejahteraan kolektif, dan ideologi egaliter yang menekankan pembagian sumber daya secara formal, sering diklaim sebagai solusi.

Nasionalisme Melanesia, yang menekankan identitas etnis dan kesadaran sejarah lokal, juga diperkenalkan sebagai jalan membangun solidaritas. Namun, pengalaman Papua menunjukkan bahwa kedua pendekatan itu tidak mampu menjadi perekat sejati bagi masyarakatnya.


Keterbatasan Sosialisme Barat dalam Konteks Papua

Sosialisme Barat, dengan kerangka ideologinya yang kaku dan formal, tidak selaras dengan struktur sosial Papua yang hidup dalam kebiasaan adat, hubungan kekerabatan, dan nilai spiritual yang mendalam. Ideologi ini cenderung menekankan mekanisme politik dan ekonomi, sementara di Papua, persatuan dan solidaritas tumbuh dari ikatan moral, spiritual, dan sosial yang nyata di komunitas.

Sosialisme Barat menuntut sistemisasi dan aturan formal yang seringkali asing bagi masyarakat adat Papua, yang terbiasa hidup dalam jaringan sosial organik, di mana hukum adat dan nilai spiritual menjadi perekat utama. Pendekatan seperti ini dapat menimbulkan konflik baru karena mencoba memaksakan konsep asing yang tidak menghargai nuansa budaya dan keragaman tradisi lokal.


Keterbatasan Nasionalisme Melanesia di Tengah Minoritas OAP

Nasionalisme Melanesia sering dipandang sebagai jalan untuk membangun kesadaran kolektif dan mempertahankan identitas etnis di Papua. Ide ini menekankan pentingnya sejarah, tradisi, dan nilai-nilai lokal sebagai fondasi kebanggaan dan solidaritas masyarakat adat. Namun, kenyataan sosial saat ini menunjukkan keterbatasan pendekatan ini.

Seiring berjalannya waktu, Orang Asli Papua (OAP) mengalami pergeseran demografis yang signifikan. Dari sebelumnya menjadi mayoritas di hampir seluruh wilayah Papua, kini posisi OAP mulai terpinggirkan akibat arus migrasi penduduk dari luar Papua dan kebijakan transmigrasi yang berlangsung sejak era kolonial Belanda hingga masa Indonesia modern.

Pergeseran ini tidak hanya memengaruhi struktur kependudukan, tetapi juga mengubah keseimbangan sosial, politik, dan budaya, menempatkan OAP pada posisi minoritas di tanahnya sendiri. Dalam kondisi seperti ini, pendekatan persatuan berbasis etnis semata menjadi rapuh dan mudah terpecah. 


Kristiani: Perekat di Tengah Fragmentasi

Dalam konteks seperti ini, iman Kristiani muncul sebagai fondasi yang lebih sesuai dan relevan untuk membangun persatuan Papua. Kekristenan menawarkan prinsip kasih dan pengampunan yang melampaui batas suku, ras, bahasa, dan budaya. Tidak seperti ideologi politik atau sosialisme asing, Kristiani menekankan martabat manusia dan keadilan yang bersifat universal, memberikan dasar moral yang mampu menembus fragmentasi etnis dan perbedaan sosial.

Gereja menjadi ruang di mana orang Papua dari berbagai latar belakang berkumpul, berdoa, dan melayani bersama, menciptakan solidaritas yang nyata dan berakar dalam pengalaman sehari-hari. Iman Kristiani juga memberikan harapan yang tidak tergantung pada kondisi politik atau ekonomi, melainkan pada pemulihan jiwa dan martabat manusia, yang sangat dibutuhkan di tengah ketidakadilan dan marginalisasi.


Kasih Universal Kristus: Ruang Bersama untuk Semua

Seringkali muncul kesalahpahaman bahwa Kekristenan bersifat eksklusif, hanya untuk mereka yang beriman. Padahal, esensi Kekristenan justru bersifat inklusif.

Kasih Allah tidak terbatas pada orang percaya saja. Hal ini ditegaskan Yesus dalam Injil Matius 5:44: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” Lebih jauh, Rasul Paulus menegaskan dalam Galatia 3:28: “Karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus. Tidak ada orang Yahudi atau Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.”

Prinsip kasih universal ini menegaskan bahwa misi Kristiani bukan hanya untuk sesama orang percaya, tetapi untuk seluruh manusia, tanpa diskriminasi. Praktik gereja di Papua telah menunjukkan hal ini melalui pelayanan sosial, pendidikan, dan kesehatan yang menjangkau seluruh masyarakat, termasuk mereka yang non-Kristen. Sekolah-sekolah Katolik, rumah sakit, dan program pemberdayaan masyarakat yang dikelola Gereja selalu terbuka bagi semua, menunjukkan bahwa iman Kristiani menjadi medium inklusif yang membangun persatuan sosial dan spiritual secara luas.


Komitmen Gereja untuk Kebaikan Bersama Seluruh Umat Manusia

Dokumen sosial Gereja Katolik juga menegaskan prinsip ini. Dalam Gaudium et Spes (1965), Konsili Vatikan II menekankan bahwa Gereja menghormati martabat setiap manusia dan wajib bekerja untuk kebaikan bersama seluruh umat manusia, bukan hanya umat Kristiani.

Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium (2013) menekankan bahwa Gereja harus hadir di tengah masyarakat untuk melayani semua orang, terutama yang miskin dan terpinggirkan, tanpa memandang keyakinan mereka. Dengan landasan teologis dan praktik pastoral ini, iman Kristiani mampu membangun persatuan Papua yang inklusif, di mana nilai moral dan spiritual menjadi perekat sosial tanpa harus memaksakan agama tertentu pada orang lain.


Iman Kristiani sebagai Pilar Solidaritas dan Hubungan Sosial

Di Papua, berbagai ideologi maupun pendekatan politik lainnya terbukti kurang mampu menjawab kompleksitas sosial dan menghargai nilai-nilai lokal. Sebaliknya, iman Kristiani hadir sebagai fondasi persatuan yang lebih alami, inklusif, dan berkelanjutan, karena menumbuhkan solidaritas dan harmoni yang selaras dengan kehidupan komunitas serta kearifan adat.

Persatuan yang dibangun atas iman bukanlah sebuah eksklusivitas, tetapi sebuah cara untuk menciptakan ruang bersama, di mana seluruh masyarakat Papua, apapun latar belakangnya, dapat menemukan tempat, rasa memiliki, dan identitas kolektif yang kokoh.

Selain menjadi jembatan persatuan, penting bagi Gereja untuk membangun kekuatan yang berpadu dan terstruktur agar mampu menanggapi kekerasan struktural yang menimpa masyarakat Papua.


Perspektif Kritis Internal Gereja

Meskipun iman Kristiani menawarkan fondasi persatuan yang kuat, Gereja Papua juga menghadapi tantangan internal yang tidak bisa diabaikan. Perbedaan denominasi, variasi praktik liturgi, dan dinamika kepemimpinan lokal kadang menimbulkan perbedaan pendekatan dalam pelayanan dan pengelolaan komunitas. 

Tantangan ini menuntut koordinasi yang lebih baik dan kesepahaman antar jemaat agar Gereja tetap menjadi ruang inklusif yang menyatukan seluruh masyarakat Papua. Dengan kesadaran akan kompleksitas internal ini, Gereja dapat memperkuat kapasitasnya sebagai agen persatuan dan transformasi sosial yang efektif.


Penutup

Sejarah global menunjukkan bagaimana Gereja atau komunitas Kristiani dapat menjadi kekuatan perubahan: gerakan hak sipil bagi orang kulit hitam di Amerika Serikat menegaskan peran iman dalam menentang diskriminasi sistemik; gerakan Solidarność di Polandia menampilkan kekuatan persatuan berbasis nilai moral dan rohani dalam menghadapi rezim otoriter; sementara Gereja Katolik Timor-Leste berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan dan pembentukan masyarakat yang adil dan bermartabat.

Contoh-contoh tersebut menegaskan bahwa Gereja Papua, jika bersatu dan terorganisir dengan baik, memiliki potensi untuk menjadi instrumen nyata dalam menentang kekerasan struktural sekaligus membangun ruang sosial yang inklusif, beradab, dan berkelanjutan bagi seluruh rakyat Papua.

Comments