Papua dan Tabu yang Tak Terucapkan
Kesaksian ini menyingkap bagaimana label ‘sensitif’ dipakai sebagai tameng retoris yang membungkam pembahasan Papua di kalangan diaspora Indonesia—seolah demi kehati-hatian, padahal justru menghindari kebenaran.
Saya heran setiap kali percakapan ringan dengan teman-teman diaspora Indonesia mengarah ke Papua; tiba-tiba muncul hening yang aneh, seolah udara menjadi berat.
Beberapa orang tersenyum kaku, yang lain mengalihkan topik ke wisata atau kuliner, sementara yang merasa paling nasionalis cepat menutup percakapan dengan alasan diplomatis: ‘Papua itu isu sensitif…’
Sensitif: Alibi untuk Diam
Sensitif. Kata yang terdengar sepele, tapi efeknya mematikan: menghentikan percakapan, membekukan rasa ingin tahu, dan mengalihkan perhatian dari sejarah panjang yang tak pernah tuntas.
Sensitivitas menjadi semacam tembok retoris: tinggi, tak kasat mata, namun kuat menahan setiap upaya untuk jujur. Dan anehnya, tembok itu terasa paling kokoh justru ketika saya berada jauh dari tanah air, duduk di meja makan diaspora yang seharusnya lebih terbuka melihat dunia.
Yang membuat saya lebih heran adalah bagaimana kata “sensitif” dipakai bukan sebagai bentuk empati, tetapi sebagai perisai untuk menghindari rasa tidak nyaman. Seolah-olah berbicara tentang ketidakadilan di Papua adalah tindakan berbahaya, bukan karena faktanya memang tragis, tetapi karena mengguncang kenyamanan identitas nasional yang sudah telanjur ditanam dalam-dalam.
Ketakutan yang Membungkam Kebenaran
Narasi sensitif ini bukan lahir dari rasa hormat kepada orang Papua, melainkan dari ketakutan menghadapi apa yang mungkin terkuak jika kita berani membuka ruang. Dalam hening itu, saya selalu merasakan ketidaksiapan untuk mengakui bahwa ada sesuatu yang salah tetapi terlalu menyakitkan untuk diucapkan.
Padahal, diaspora di mana pun biasanya memiliki kebebasan yang lebih luas. Mereka melihat bagaimana negara lain dengan berani memeriksa kembali sejarah gelapnya. Mereka menyaksikan bagaimana masyarakat internasional berdialog mengenai kolonialisme, rasisme, dan kekerasan negara tanpa merasa bahwa itu mengancam identitas mereka.
Namun entah mengapa, ketika menyentuh Papua, banyak diaspora Indonesia justru kembali ke mode bertahan hidup: jangan bicara terlalu jauh, nanti dianggap anti-negara. Seakan bayang-bayang sensor mengikuti mereka sejauh apa pun mereka pergi—tidak lagi dipaksakan oleh aparat, melainkan ditanamkan dalam bentuk ketakutan kultural yang merayap.
Mitos Diam sebagai Kebijaksanaan
Dari pengalaman pribadi ini saya memahami bahwa label “sensitif” bekerja seperti kabut ideologis. Ia mengaburkan fakta sejarah, menenggelamkan jeritan yang tak terdengar, dan memelihara mitos bahwa diam adalah kebijaksanaan.
Ketika seseorang berkata, “Saya nggak paham masalah Papua, jadi nggak berani komentar,” saya sering bertanya dalam hati: benarkah ia tidak paham, atau ia memilih untuk tidak paham? Keduanya berbeda, dan yang kedua jauh lebih berbahaya. Ketidaktahuan yang dipilih adalah bentuk diam yang paling halus namun paling menghancurkan.
Yang ironis, orang Papua sering digambarkan sebagai pihak yang “mudah tersinggung”, “sulit diajak dialog”, atau “emosional”. Sementara itu, orang-orang yang menolak membicarakan pengalaman penindasan mereka justru merasa diri paling rasional.
'Isu Papua Rumit' = Tak Siap Mengubah Diri
Tetapi bukankah yang paling emosional sebenarnya adalah mereka yang panik ketika kenyamanan identitasnya dipertanyakan?
Bukankah sensitivitas yang sesungguhnya justru milik mereka yang tidak tahan mendengar bahwa sesuatu yang dianggap “normal” selama ini ternyata dibangun di atas penderitaan orang lain?
Menyebut Papua sebagai isu sensitif pada dasarnya adalah strategi untuk mempertahankan keheningan. Ia memberi alibi moral bagi mereka yang malas membaca sejarah, enggan mendengar kesaksian, dan takut kehilangan narasi besar yang selama ini membentuk rasa kebangsaan mereka.
Kata “sensitif” menempatkan Papua sebagai wilayah terlarang—sebuah no-go zone dalam imajinasi nasional, bukan karena kompleksitasnya, melainkan karena ia terlalu jujur menunjukkan kegagalan kita sebagai bangsa yang beradab.
Keadilan dan Kemanusiaan Tidak Pernah Sensitif
Saya percaya bahwa tidak ada yang sensitif tentang keadilan, kecuali jika keadilan itu mengganggu posisi kita. Tidak ada yang sensitif tentang kemanusiaan, kecuali jika kemanusiaan itu menuntut kita untuk mengakui andil kita dalam kesakitan orang lain.
Maka ketika diaspora Indonesia berkata, “Isu Papua rumit”, yang saya dengar sebenarnya adalah “Saya tidak siap untuk berubah.”
Barangkali keberanian terbesar bukanlah berbicara lantang tentang kemerdekaan, politik, atau sejarah, tetapi keberanian untuk mengakui bahwa kita selama ini ikut menjaga kebisuan itu. Mungkin langkah pertama adalah sesederhana berhenti menyebutnya “sensitif”. Karena setiap kali kata itu diucapkan, seseorang di Papua kembali ditutup mulutnya oleh kebiasaan kita sendiri.
Penutup
Di titik inilah, saya belajar bahwa melampaui sensitivitas berarti memilih untuk mendengarkan—bukan demi memenangkan argumen, tetapi demi memulihkan kemanusiaan yang selama ini terkikis oleh mitos nasionalisme yang rapuh.
Percakapan yang kita hindari justru percakapan yang paling kita butuhkan. Papua bukan topik terlarang. Papua adalah cermin kemanusiaan kita. Yang sensitif bukan isunya, melainkan hati kita yang belum siap melihat bayangannya.


Comments
Post a Comment