'Jangan Bawa Gereja ke Ranah Politik!’—Ironi dan Kemunafikan dalam Wacana Gerejawi

'Jangan Bawa Gereja ke Ranah Politik!’—Ironi dan Kemunafikan dalam Wacana Gerejawi

Ketika umat awam bersuara menuntut Gereja membela keadilan dan hak asasi manusia, mereka kerap ditegur: “Jangan bawa Gereja ke ranah politik.” Namun diam bukanlah netral; membungkam penderitaan umat adalah kemunafikan yang paling keji.


Dalam wacana publik Indonesia, tampak sebuah kecenderungan yang ganjil sekaligus paradoksal: begitu umat awam meminta Gereja bersuara tentang keadilan—mulai dari kritik terhadap hukum yang menekan minoritas, seperti pasal penistaan agama, hingga pembelaan hak-hak masyarakat adat dan nasib bangsa yang tertindas—langsung saja muncul pihak-pihak yang menuding, “jangan bawa Gereja ke ranah politik!”

Vonis itu bekerja seperti tameng moral untuk membungkam suara kenabian, sementara mereka yang mengucapkannya kerap memiliki kepentingan tersembunyi yang jauh lebih politis ketimbang apa yang mereka tuduhkan. 


Ketika Diam Menjadi Pilihan yang Penuh Darah

Ada ironi yang sulit disembunyikan: mereka yang paling keras berteriak “Gereja jangan ikut politik” sering kali adalah orang-orang yang diam ketika umat beriman dipersekusi; yang tak mengucap sepatah kata pun saat tanah-tanah ulayat digusur oleh korporasi predator; yang membisu ketika masyarakat adat diteror demi kepentingan investasi; dan yang tetap tenang saat komunitas pribumi Papua disingkirkan dari tanah leluhur melalui operasi yang dibungkus retorika pembangunan.

Bahkan ada pemimpin Gereja yang tetap menutup mata ketika umatnya dibantai di depan kamera—tragedi yang langsung memanggil ingatan kita pada Santa Cruz, Dili, 1991—namun kini dengan percaya diri menguliahi Gereja soal batas moral dan etika publik. Di titik inilah kemunafikan tampil dalam bentuknya yang paling telanjang: kekuasaan meminjam bahasa kesalehan untuk membungkam suara profetik yang mengusik kenyamanannya.

Politik Moral Gereja: Kewajiban Profetik di Tengah Ketidakadilan

Gereja, jika setia pada inti Injil, tidak pernah dapat berdiri di luar realitas politik. Ia boleh menolak politik praktis, tetapi ia tidak dapat menolak politik moral. Gereja selalu memasuki politik pada momen ketika kekuasaan merampas martabat manusia, ketika hukum hanya melayani akumulasi modal, ketika identitas suatu bangsa ditenggelamkan atas nama stabilitas nasional. Diam dalam situasi seperti ini bukanlah netralitas melainkan kolaborasi; keberpihakan tidak diukur dari seberapa lantang seseorang bersuara, melainkan dari keberanian menolak kenyamanan yang dihasilkan oleh ketidakadilan.

Argumen yang mengatakan bahwa isu Papua “terlalu kompleks” hanyalah strategi retoris untuk menghindari tanggung jawab moral. Kompleksitas dijadikan alasan untuk tidak bertindak, padahal kompleksitas justru menuntut pendalaman etis, bukan penghindaran atau penyangkalan. 

Mereka yang merasa berhak berkata, “biarkan yang berwewenang menyelesaikan urusan,” sering kali adalah pihak yang tak pernah merasakan bagaimana rasanya ditekan oleh mayoritas, hidup di bawah bayang-bayang aparat bersenjata, menjadi tubuh yang selalu dicurigai, atau warga yang terus dianggap ancaman. Dari perspektif itu, kata “kompleks” berfungsi seperti parfum: menutupi bau busuk ketidakpedulian.


Gereja dan Ilusi Kedamaian di Tengah Kekerasan Struktural

Sesungguhnya, Gereja yang mengaku pembawa damai tetapi menolak berbicara tentang kekerasan struktural hanyalah memproduksi kedamaian semu—kedamaian yang dibangun di atas mayat dan tanah yang dirampas. 

Khotbah-khotbah 'adem' yang dirancang untuk menenangkan jemaat sekaligus menenangkan hati para penguasa hanyalah liturgi kosong tanpa integritas. Mereka mungkin tampak anggun di mimbar, tetapi tangan mereka secara moral berlumuran darah karena memutihkan dosa publik dengan senyap. Damai bukanlah keheningan yang dipaksakan; damai adalah tegaknya keadilan, pulihnya martabat, dan dihentikannya kekerasan.


Ketika Iman Dipertaruhkan: Gereja Melawan Struktur Penindasan

Ketika Gereja membela hak masyarakat adat dan menegaskan legitimasi moral hak menentukan nasib sendiri, yang dijamin oleh HAM dan Hukum Internasional, Gereja tidak sedang berpolitik praktis—ia sebenarnya sedang membela inti imannya. Justru Gereja yang menolak bersuara demi menghindari tuduhan politik sesungguhnya sedang terjerat politik yang paling busuk: politik takut, politik kompromi, politik kepentingan institusional. 

Gereja yang berpihak pada korban—yang berani mengakui adanya bangsa yang tertindas, tanah yang dirampas, dan identitas yang diinjak—adalah Gereja yang setia pada Injil dan pada manusia sebagai imago Dei. Papua adalah wajah Allah di Indonesia; Gereja Indonesia tidak boleh mengulang dosa masa lalu seperti di Timor Timur. Sejarah sedang mencatat setiap langkah, dan suatu hari penghakiman akan datang, terlepas dari apakah para pemimpin Gereja mau mendengar umatnya atau menutup telinga terhadap jeritan mereka.


Bersuara atau Bungkam: Tanggung Jawab Profetik Gereja di Mata Sejarah

Sementara Gereja saat ini menggalang kolekte Natal untuk rakyat Palestina, bagaimana dengan pengungsi Papua, yang jumlahnya kini melampaui 100.000 jiwa menurut Human Rights Monitor? Solidaritas dibentangkan untuk penderitaan jauh, sementara hak bicara dan penderitaan umat sendiri sering dibungkam.

Sejarah tidak pernah menuliskan pujian bagi Gereja yang diam. Yang dikenang hanyalah mereka yang berani bersuara ketika kekuasaan menolak kebenaran. Seruan “Gereja jangan masuk politik” hanyalah ungkapan ketakutan mereka pada terang, pada kebenaran yang mulai menyingkap semua yang selama ini tersembunyi. Yang paling berbahaya bukanlah Gereja yang bersuara demi keadilan, tetapi Gereja yang diam, menutupi kemunafikan di balik jubah kesalehan.

Comments