Keberanian dan Hikmat Pejuang HAM Indonesia dalam Advokasi Papua

Keberanian dan Hikmat Pejuang HAM Indonesia dalam Advokasi Papua


Dalam lanskap advokasi Papua, para pejuang hak asasi manusia (HAM) Indonesia sering berjalan di atas garis tipis yang memisahkan keberanian moral dan risiko nyata terhadap keamanan diri. Namun di atas semua itu, ada satu dilema yang lebih sunyi namun jauh lebih signifikan: bagaimana berbicara tentang hak menentukan nasib sendiri—sebuah hak yang dijamin hukum internasional dan HAM universal—di ruang publik Indonesia yang telah lama menempatkannya sebagai tabu politik? Pertanyaan ini, entah disadari atau tidak, membentuk seluruh dinamika keberanian dan hikmat para pembela HAM di Tanah Papua.


Dilema Awal Integrasi Papua: Hak Rakyat vs Keamanan Negara

Sejak awal integrasi Papua pada 1963, pembicaraan mengenai nasib rakyat Papua selalu dikaitkan erat dengan keamanan nasional. Akibatnya, topik-topik yang secara hukum internasional termasuk dalam diskursus HAM, seperti diskriminasi struktural, marginalisasi politik, hingga hak kolektif suatu bangsa untuk menentukan masa depannya, sering ditarik masuk ke ranah kecurigaan politis. Ketika ruang demokrasi dibatasi oleh interpretasi sepihak terhadap konsep keutuhan negara, aktivis HAM terjebak dalam pertanyaan eksistensial: apakah berbicara mengenai prinsip hukum internasional—yang sebenarnya legal dan dijamin PBB—akan membuat mereka dicap subversif?

Sejarah Papua, terutama sejak Pepera atau Penentuan Pendapat Rakyat pada 1969, menambah kompleksitas dilema ini. Pepera, yang hanya melibatkan sekitar seribu orang dari ratusan ribu penduduk asli Papua, menimbulkan banyak pertanyaan tentang demokrasi dan representasi. Meskipun diakui secara formal oleh negara dan komunitas internasional, cara pemilihan wakil-wakil tersebut sering dikaitkan dengan tekanan militer, dan banyak pihak menilai keputusan itu tidak mencerminkan kehendak mayoritas rakyat Papua. Operasi-operasi militer yang menyertai Pepera, termasuk Operation Wibawa, menunjukkan bahwa jalannya proses tersebut tidak lepas dari unsur paksaan, meskipun secara yuridis disahkan.


Kekerasan Sistemik dan Pelanggaran HAM di Papua

Dari masa Orde Lama hingga era Reformasi, pelanggaran HAM di Papua terus berlangsung. Data dari lembaga HAM lokal dan internasional menunjukkan pola kekerasan sistemik, mulai dari penembakan dan penghilangan paksa hingga diskriminasi struktural dan pembatasan kebebasan politik. 

Pada periode 1977–1978, operasi militer di Pegunungan Tengah Papua menelan ribuan korban. Laporan terbaru dari Amnesty International dan Komnas HAM mendokumentasikan puluhan kasus pembunuhan di luar hukum dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Operasi militer kontemporer sering bersinggungan dengan konflik pertanahan dan penguasaan sumber daya alam, menimbulkan ketegangan sosial yang mendalam dan trauma berkelanjutan bagi komunitas lokal.

Pola-pola ini memperlihatkan bahwa isu Papua bukan hanya persoalan politik, tetapi juga masalah kemanusiaan yang nyata. Hak menentukan nasib sendiri, yang diakui hukum internasional, tidak sekadar retorika; ia menjadi respons terhadap pengalaman panjang pelanggaran hak dasar dan penindasan struktural. Dengan memahami sejarah Pepera dan menyadari konteks empiris pelanggaran HAM, advokasi HAM di Papua memperoleh legitimasi moral dan legal yang kuat. 

Diskursus ini menegaskan bahwa pembicaraan tentang martabat manusia, hak asasi, dan hak menentukan nasib sendiri seharusnya tidak boleh dibungkam oleh tabu politik. Sebaliknya, isu-isu ini harus ditempatkan dalam kerangka dialog yang etis, reflektif, dan berbasis bukti, sehingga advokasi tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga tetap relevan, kredibel, dan bermartabat.


Dari Piagam PBB ke Kovenan Internasional: Legitimasi Global

Secara prinsipil dan yuridis, hak menentukan nasib sendiri bukanlah ide berbahaya sebagaimana dipersepsikan, melainkan fondasi dari International Law. Piagam PBB, dokumen tertinggi tatanan global modern, secara eksplisit menegaskan bahwa salah satu tujuan PBB adalah mengembangkan hubungan persahabatan antarbangsa berdasarkan persamaan hak dan hak menentukan nasib sendiri. 

Bahkan lebih jauh, dua kovenan internasional terpenting—ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights), yang menjamin hak-hak sipil dan politik seperti kebebasan berpendapat, beragama, dan hak atas pengadilan yang adil, serta ICESCR (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights), yang menjamin hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya seperti pendidikan, pekerjaan, dan standar hidup yang layak—telah diratifikasi Indonesia, menegaskan bahwa hak menentukan nasib sendiri termasuk dalam kerangka hukum internasional yang sah dan diakui.


Hukum Ada, Kebebasan Terbatas

Jika demikian halnya, mengapa membicarakan sesuatu yang justru sudah menjadi bagian dari hukum nasional—karena ratifikasi memasukkannya ke dalam sistem perundang-undangan Indonesia—masih dianggap terlarang? 

Perlu dicatat bahwa slogan “NKRI harga mati” bukanlah dogma hukum dan juga tidak tercatat secara formal dalam konstitusi UUD 1945, sehingga semestinya tidak boleh dijadikan alasan untuk membungkam pembicaraan tentang hak menentukan nasib sendiri atau self-determination yang diakui oleh hukum internasional.

Mengapa prinsip yang begitu universal justru menjadi objek ketakutan? Inilah ironi yang setiap hari dihadapi para pembela HAM Papua: antara keberanian untuk menyatakan apa yang benar, dan hikmat untuk menghindari jebakan kriminalisasi yang dapat membahayakan mereka maupun komunitas yang mereka dampingi.


Mengubah Diskursus dari Ancaman menjadi Kemanusiaan

Hikmat, dalam konteks ini, bukanlah kompromi terhadap kebenaran. Ia adalah seni mengelola ruang publik yang penuh sensor psikologis dan tekanan struktural. Ia mengajarkan bahwa kebenaran dapat diucapkan tanpa harus langsung memantik resistensi negara; bahwa hak menentukan nasib sendiri dapat dibahas sebagai hak universal umat manusia, bukan sebagai slogan politik. 

Hikmat membantu para advokat merumuskan ulang diskursus: dari “Ini ancaman bagi negara” menjadi “Ini bagian dari martabat manusia yang dijamin hukum internasional dan hukum Indonesia sendiri.” Dalam konteks Papua, hikmat ini sering diwujudkan dengan menggunakan bahasa moral, bukan politis; dengan merujuk pada martabat manusia, bukan pada garis batas teritorial.


Keteguhan dalam Realitas yang Penuh Risiko

Namun keberanian tetap diperlukan, sebab tanpa keberanian, hikmat mudah berubah menjadi keheningan. Para pembela HAM Papua memahami bahwa realitas di lapangan—kekerasan, diskriminasi, dan pelanggaran sistemis—tidak mungkin diabaikan. 

Keberanian mereka lahir dari keyakinan bahwa rakyat Papua berhak atas suara tentang masa depan mereka. Bentuk suara itu tidak harus berupa deklarasi pemisahan diri—karena hukum internasional tidak pernah mewajibkan demikian—tetapi berupa pengakuan bahwa setiap bangsa memiliki hak untuk menyatakan apa yang mereka anggap sebagai kehidupan yang bermartabat. Tidak lebih, dan tidak kurang.


Self-Determination: Lebih dari Sekadar Pemisahan

Menariknya, hukum internasional mengakui bahwa self-determination tidak selalu harus berarti pemisahan wilayah atau disintegrasi bangsa.

Ia bisa hadir dalam wujud otonomi, federalisme, atau bahkan sekadar penghormatan penuh terhadap identitas budaya dan politik suatu bangsa, namun apa yang disebut Otonomi Khusus (Otsus) yang diterapkan di enam provinsi Papua selama ini sulit dikatakan sebagai otonomi sejati. Otsus lebih banyak berupa kewenangan administratif yang terbatas, tetap dikendalikan oleh pusat, dan seringkali tidak memberi ruang bagi rakyat Papua untuk menentukan kebijakan politik, ekonomi, atau budaya mereka sendiri, sehingga hak internal self-determination yang sejati belum terpenuhi.

Hukum internasional juga membuka ruang bagi apa yang disebut remedial secession, yaitu pemisahan sebagai jalan terakhir ketika hak-hak dasar suatu bangsa dirampas, ketika diskriminasi struktural menghilangkan ruang bagi partisipasi politik yang bermartabat. Dalam konteks ini, pertanyaan yang lebih jujur bukanlah apakah rakyat Papua boleh berbicara tentang self-determination, tetapi apakah negara telah membuka ruang bagi internal self-determination yang adil, setara, dan bermartabat—atau justru menutupnya sehingga rakyat terpaksa mencari bentuk lain.

Karena itulah, memecah tabu bukan berarti mendorong agenda politik tertentu, melainkan mengembalikan wacana pada tempatnya: sebagai percakapan tentang martabat manusia. Dengan menempatkan self-determination dalam kerangka HAM universal, para advokat Papua dapat mengubah narasi dari ancaman menjadi refleksi etis, dari kecurigaan menjadi dialog, dari stigma menjadi pencarian bersama akan keadilan. Ini strategi yang secara moral benar dan secara hukum sah.


Mandat Hukum Internasional vs Tantangan Lokal

Pada akhirnya, dilema pejuang HAM Papua adalah pergulatan antara api keberanian dan lentera hikmat. Mereka tahu bahwa kebenaran harus diucapkan, tetapi juga tahu bahwa cara mengucapkannya menentukan masa depan banyak orang. 

Mereka sadar bahwa membahas hak menentukan nasib sendiri bukanlah tindakan politik berbahaya, tetapi bagian dari mandat hukum internasional yang bahkan negara-negara demokratis modern rutin diskusikan. Pertanyaannya bukan lagi apakah kita boleh membicarakannya, tetapi apakah kita mampu membicarakannya dengan kedewasaan intelektual?

Di sinilah letak tantangan moral sekaligus harapan baru: bahwa keberanian dan hikmat tidak lagi diposisikan sebagai dua kutub yang saling meniadakan, tetapi sebagai dua sayap yang diperlukan agar kebenaran tentang Papua dapat terbang—tanpa menabrak tembok ketakutan, tetapi juga tanpa kehilangan arah menuju keadilan.


Dialog Jakarta–Papua sebagai Solusi Paling Bermartabat

Sebagai penutup, meskipun isu Papua sarat kompleksitas dan hak menentukan nasib sendiri kerap dibungkam tabu politik, satu jalan yang paling manusiawi dan bermartabat tetap terbuka: dialog konstruktif antara Jakarta dan Papua. Dialog ini bukan sekadar mekanisme politik atau negosiasi administratif, melainkan sarana untuk menegaskan martabat rakyat Papua, menghormati aspirasi mereka, dan merumuskan solusi yang adil bagi semua pihak tanpa mengorbankan hak-hak fundamental.

Sejarah mengingatkan kita pada tokoh-tokoh yang mencontohkan keberanian berpadu dengan hikmat. Salah satunya adalah almarhum Pater Neles Tebay, imam Katolik yang berkarya di Keuskupan Jayapura. Dedikasinya terhadap keadilan sosial, advokasi bagi rakyat Papua, dan upaya menjembatani pemahaman antara pihak lokal dan negara mendapat pengakuan luas, bahkan secara internasional. Keteladanan Pater Tebay menunjukkan bahwa advokasi yang bermartabat tidak harus konfrontatif, dan keberanian dapat berjalan seiring dengan dialog yang tulus, berbasis nilai kemanusiaan, serta menghormati budaya dan identitas lokal.

Dengan menempatkan dialog sebagai inti strategi advokasi, pejuang HAM, pemerintah, dan masyarakat dapat menyalurkan keberanian secara efektif, tetap menjaga hikmat dalam bertindak, dan membuka jalan bagi solusi yang berkelanjutan dan manusiawi—solusi yang menegaskan bahwa hak menentukan nasib sendiri adalah panggilan moral untuk menghormati martabat manusia, bukan ancaman. 

Dalam hal ini, Kementerian terkait dan Komnas HAM diharapkan mengambil peran aktif memfasilitasi dialog, sementara TNI-POLRI dan para faksi perjuangan di Papua diajak menunjukkan kelunakan hati, demi terciptanya komunikasi yang tulus dan bermartabat bagi seluruh pihak. Idealnya, dialog juga melibatkan pihak ketiga yang netral, tanpa kepentingan politik maupun ekonomi di Papua, sehingga prosesnya dapat berlangsung objektif, adil, dan fokus pada pemenuhan hak dan martabat rakyat Papua.


Refleksi

Pemerintah Indonesia pernah menunjukkan bahwa solusi demokratis yang adil dan bermartabat mungkin diwujudkan, meski melalui jalan yang penuh konflik, seperti yang terlihat di Aceh dengan perjanjian Helsinki, atau di Timor Leste yang berakhir dengan kemerdekaan melalui referendum. Keberhasilan itu menunjukkan kapasitas untuk negosiasi dan pengakuan terhadap aspirasi politik masyarakat. Lantas, mengapa jalan demokratis serupa tampak begitu sulit diterapkan di Papua? 

Comments