Kekerasan Belanda di Indonesia dan Trikora dalam Ingatan Papua

Kekerasan Belanda di Indonesia dan Trikora dalam Ingatan Papua

Agresi militer Belanda di Indonesia hingga Trikora di Papua menunjukkan bagaimana kekuasaan berganti rezim tetapi mempertahankan pola dominasi yang sama—meninggalkan luka panjang dalam ingatan orang Papua.


Sejarah Indonesia modern memperlihatkan pola mengejutkan: kekuatan militer kerap digunakan sebagai instrumen politik untuk menegaskan dominasi atas wilayah dan masyarakatnya. Agresi militer Belanda terhadap Indonesia pada 1947–1949 dan Trikora yang digagas Sukarno untuk merebut Papua pada awal 1960-an, meskipun berbeda konteks waktu dan rezim, menampilkan paralelisme yang kuat dalam mekanisme kekuasaan, legitimasi, dan dampak sosial.


Agresi Militer Belanda: Politionele Acties dan Penolakan terhadap Kedaulatan Indonesia

Agresi Militer Belanda, yang dikenal sebagai Politionele Acties, muncul sebagai respons kolonial terhadap Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Belanda menolak mengakui kedaulatan Republik Indonesia dan melancarkan serangan militer besar untuk menegaskan kembali kontrol atas wilayah strategis dan sumber daya ekonomi.

Operasi darat, laut, dan udara digabungkan dengan penangkapan pemimpin republik, termasuk Sukarno dan Hatta, serta perusakan infrastruktur publik. Propaganda internasional berupaya menutupi kekerasan tersebut dengan narasi “pemulihan ketertiban” dan “perlindungan warga sipil,” padahal korban sipil dan trauma sosial begitu besar.

Salah satu tragedi paling mencolok terjadi di Rawagede, Jawa Barat, pada 9 Desember 1947, ketika ratusan warga desa dibantai oleh tentara Belanda hanya karena dicurigai membantu gerilyawan republik. Peristiwa ini menjelma simbol kekerasan struktural kolonial—perpaduan antara kekerasan fisik, teror psikologis, dan penghukuman kolektif yang meninggalkan luka mendalam dalam memori bangsa.

Jejak trauma Rawagede tidak berhenti pada masa kolonial. Pantulan kekerasan itu masih dapat dikenali hingga hari ini dalam istilah dan praktik seperti operasi militer, pendudukan, represi, stigmatisasi “pemberontak,” militerisasi ruang hidup, serta impunitas yang mengakar. Bahkan pola perampasan tanah, kontrol informasi, dan asimilasi paksa menunjukkan bahwa warisan traumatis kolonial belum benar-benar lenyap dari lanskap sosial-politik Indonesia.


Mengakhiri “Kolonialisme Belanda Terakhir”: Strategi dan Dampak Trikora

Dua belas tahun setelah agresi Belanda, pola yang serupa muncul di Papua melalui Trikora (Tri Komando Rakyat) pada 19 Desember 1961. Tujuan resmi Trikora adalah mengakhiri apa yang disebut “kolonialisme Belanda terakhir” di Nusantara dan mengintegrasikan Papua ke dalam Republik Indonesia—hanya sekitar tiga minggu setelah Nieuw Guinea Raad, badan perwakilan resmi rakyat Papua kala itu, mengumumkan manifesto politik menuju kemerdekaan penuh West Papua.

Strategi yang diterapkan mencakup mobilisasi militer besar, penerjunan pasukan di berbagai wilayah strategis, serta tekanan diplomatik internasional untuk memperkuat klaim politik Indonesia. Setelah militer Indonesia resmi memasuki Papua pada 1 Mei 1963, penduduk lokal yang menolak integrasi dikriminalisasi, simbol-simbol budaya ditekan, dan sejarah direkayasa untuk membentuk narasi tunggal bahwa Papua sejak awal adalah bagian sah Indonesia. 

Faktanya, jauh sebelum pengakuan kedaulatan Indonesia pada 1949, Papua berada di bawah administrasi terpisah sebagai Netherlands New Guinea, dan bangsa Papua telah menyiapkan struktur kenegaraan sendiri sejak 1961—sebuah realitas historis yang membantah klaim kontinuitas otomatis dengan Indonesia. Selain itu, pada saat Proklamasi 17 Agustus 1945, Papua berada di bawah kendali Sekutu, bukan dalam kekosongan kekuasaan sebagaimana sering digambarkan dalam narasi nasional.


Kontrol dan Intimidasi: Dampak Kehadiran Militer di Papua

Sejak militer Indonesia memasuki Papua, masyarakat adat hidup dalam suasana intimidasi: pertemuan desa diawasi, mobilitas dibatasi, dan ketakutan meresap dalam kehidupan sehari-hari. Kesaksian ini tercatat jelas dalam laporan Pastor Frans Lieshout, yang berada langsung di lapangan saat transisi kekuasaan berlangsung. Ia menuturkan:

“Saya sempat ikut salah satu penerbangan … dan pada tanggal 1 Mei 1963 datanglah orang Indonesia. … Tentara yang telah diutus merupakan kelompok yang cukup mengerikan. … Saat itu saya sendiri melihat amukan mereka. … Di mana-mana ada kayu api unggun: buku-buku dan dokumen-dokumen arsip Belanda dibakar.”
(Papua Spirit News)

Pastor Lieshout juga mencatat bahwa tidak hanya arsip dan kantor pemerintahan yang menjadi sasaran: Rumah Sakit di Jayapura—yang terbaik di Pasifik saat itu—dijarah oleh militer, dan banyak peralatan medisnya diangkut ke Jawa, meninggalkan fasilitas kesehatan Papua dalam keadaan porak-poranda pada saat masyarakat sangat membutuhkan layanan medis yang memadai.


Kekerasan Fisik dan Simbolik: Mekanisme Dominasi di Papua

Seperti dalam agresi Belanda, Trikora memperlihatkan bagaimana kekuasaan dijalankan melalui kombinasi kekerasan fisik dan simbolik, kontrol administratif, serta dominasi narasi sejarah. Tidak dapat dipungkiri bahwa trauma, marginalisasi, dan penyensoran identitas Melanesia menjadi kenyataan bagi banyak orang Papua.

Menjelang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, operasi militer yang dikenal sebagai Operasi Wibawa mempertegas atmosfer tekanan: patroli bersenjata, pengawasan intensif, dan pembatasan politik, sehingga proses Pepera, yang secara resmi digambarkan sebagai mekanisme demokratis untuk menentukan status Papua dalam NKRI, pada kenyataannya lebih merupakan formalitas daripada pilihan bebas rakyat.

Paralelnya jelas: baik kolonial Belanda maupun negara Indonesia menggunakan perangkat yang sama—militer, propaganda, dan dokumentasi administratif—untuk menegaskan legitimasi kekuasaan mereka. 


Sejarah Tak Bisa Disensor: Jejak Trikora dan Integrasi Papua

Perbedaannya hanya pada bahasa dan dalih: Belanda menggunakan alasan ketertiban kolonial; Indonesia menggunakan retorika nasionalisme dan anti-kolonialisme. Namun bagi penduduk lokal, pengalaman kekerasan, ketakutan, dan marginalisasi menunjukkan pola yang nyaris serupa.

Dinamika ini memperlihatkan bahwa luka sejarah tidak dapat disamarkan oleh propaganda atau sensor. Bahkan pada masa Orde Baru—periode kontrol informasi paling ketat—jejak kekerasan di Papua tetap muncul melalui arsip internasional, laporan kemanusiaan, dan kesaksian para saksi hidup.

Kini, di era keterbukaan informasi, setiap upaya memoles sejarah dapat dengan mudah dipatahkan oleh bukti dan data. Kebenaran tidak dapat dihapus oleh administrasi atau narasi resmi.


Sejarah sebagai Hakim: Mengakui Luka dan Trauma Papua

Fakta historis dan pengalaman manusia tetap menjadi hakim moral yang tak bisa ditipu. Menatap sejarah Papua berarti menghadapi trauma yang lama tersembunyi di balik narasi resmi; memahami bagaimana integrasi paksa dan operasi militer meninggalkan luka yang masih terasa hingga hari ini.

Menghormati pengalaman penduduk Papua yang terdampak bukan sekadar formalitas moral—ini langkah pertama dalam memulihkan martabat, memperbaiki ketidakadilan struktural, dan membuka ruang bagi penyembuhan kolektif.

Keadilan tidak lahir dari slogan politik atau klaim sepihak, tetapi dari keberanian mengakui fakta sejarah. Sesungguhnya, sejarah adalah hakim yang tak dapat disuap. Mengakui luka Papua adalah langkah awal menuju masa depan Indonesia yang lebih manusiawi, di mana kebenaran dan keadilan dapat berjalan berdampingan.


Rekomendasi 

Upaya rekonsiliasi antara pemerintah Indonesia dan masyarakat Papua terkait trauma masa Trikora masih sangat terbatas. 

Meskipun UU Otonomi Khusus menyediakan mandat untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) serta pengakuan hak adat, implementasinya masih jauh dari optimal, sementara pengadilan HAM untuk menangani pelanggaran masa lalu belum kunjung terlaksana. 

Untuk keadilan transisional, perlu KKR yang partisipatif, reparasi simbolik dan material seperti permintaan maaf resmi dan pemulihan budaya, pengakuan hak adat yang nyata, serta pemantauan publik agar prosesnya transparan dan akuntabel. 

Pemerintah dan masyarakat Papua harus bekerja sama untuk memastikan rekonsiliasi nyata, menghormati hak adat, dan mengakui sejarah Papua agar trauma masa lalu dapat disembuhkan dan martabat masyarakat adat dipulihkan.

Comments