Ketika Revolusi Melahirkan Penindasan: Tragedi Indonesia

Penjara di Tangerang, Desember 1965. Foto: Bettmann / Corbis.

Ketika Revolusi Melahirkan Penindasan: Tragedi Indonesia

Revolusi Indonesia 1945 melahirkan kemerdekaan tanpa kebebasan. Dari Sukarno hingga Reformasi, kekuasaan berulang menjadi militeristik dan paternalistik. Rakyat dijadikan objek, demokrasi jadi ritual kosong. Papua harus belajar: kemerdekaan sejati lahir dari kesadaran dan permufakatan kolektif, bukan dari senjata dan kultus kekuasaan.


Revolusi Indonesia 1945 sering dirayakan sebagai puncak kebangkitan nasional, momen sakral di mana bangsa yang lama terjajah akhirnya mengambil nasibnya sendiri. Namun di balik mitos heroik itu tersembunyi sebuah paradoks tragis: revolusi yang dimaksudkan untuk membebaskan justru melahirkan negara yang menindas. Apa yang dimulai sebagai perjuangan melawan kolonialisme berakhir dalam bentuk baru dari kolonialisme domestik—dengan wajah militer, ideologi tunggal, dan kultus kepemimpinan yang menggantikan semangat rakyat dengan disiplin dan ketakutan.


Dari Proklamasi ke Pengkhianatan: Benih Otoritarianisme

Sejak awal, revolusi Indonesia membawa benih kontradiksi. Ia lahir dari kekosongan kekuasaan setelah Jepang menyerah, ketika berbagai kelompok—nasionalis, Islamis, sosialis, dan militer—berebut menentukan arah negara. Proklamasi 17 Agustus hanyalah tanda simbolik dari peralihan kekuasaan, bukan penataan struktur baru yang benar-benar berpihak pada rakyat. Ketika Belanda berusaha kembali dan perang kemerdekaan berkecamuk, militer muncul sebagai aktor paling menonjol, bukan hanya karena senjata yang mereka pegang, tetapi juga karena legitimasi moral yang mereka bangun sebagai “penjaga revolusi.” Dari situlah, benih militerisme mulai berakar dalam tubuh republik muda.

Setelah perang usai dan kedaulatan diakui, masa demokrasi parlementer mencoba memberi ruang bagi perdebatan, pluralitas, dan partisipasi politik. Namun dalam praktiknya, demokrasi itu lahir prematur—di tengah masyarakat yang masih diliputi trauma perang, ketimpangan ekonomi, dan ketegangan ideologis. Pemerintahan berganti cepat, kabinet jatuh satu demi satu, dan di berbagai daerah muncul pemberontakan bersenjata. Demokrasi dianggap mewah, bahkan berbahaya. Sukarno, dengan karisma revolusionernya, melihat bahwa republik muda membutuhkan tangan kuat, bukan perdebatan tanpa akhir. Maka ia menciptakan Demokrasi Terpimpin: sebuah sistem yang menyingkirkan parlemen dan menggantikannya dengan kepemimpinan tunggal di bawah dirinya.


Kultus Kepemimpinan dan Logika Militer: Ketika Rakyat Jadi Objek

Di sinilah revolusi mulai menelan anak kandungnya. Dengan jargon “persatuan dan ketahanan nasional”, Sukarno menempatkan dirinya sebagai pusat orbit politik. Negara dipersonifikasikan ke dalam sosok pemimpin, dan rakyat dikondisikan untuk mencintai, bukan mengkritik. Setiap perbedaan pendapat dianggap ancaman terhadap revolusi. Demokrasi berubah menjadi teatrikal: rakyat diajak berteriak “Hidup Revolusi!” tetapi tidak diberi ruang untuk menentukan arah revolusi itu sendiri.

Ketika situasi politik semakin kacau di awal 1960-an—dengan inflasi tinggi, krisis pangan, dan pertarungan ideologi antara kiri dan kanan—militer melihat kesempatan untuk merebut panggung. Peristiwa 1965 memberi justifikasi sempurna bagi kebangkitan kekuasaan militer. Atas nama penyelamatan bangsa dari komunisme, tentara membersihkan arena politik dari siapa pun yang dianggap berpotensi melawan, sambil membangun mitos baru: bahwa hanya militer yang mampu menjaga keutuhan dan stabilitas negara. Dari sinilah, revolusi yang semula anti-kolonial menjelma menjadi negara yang dikuasai oleh logika militeristik—disiplin, ketertiban, dan kesatuan sebagai dogma tertinggi.


Orde Baru: Fasisme dengan Wajah Pembangunan

Orde Baru di bawah Suharto memperdalam warisan ini dengan lebih sistematis. Negara diatur seperti barak besar: semua harus tunduk pada satu komando. Ideologi negara dipakukan pada satu tafsir resmi—Pancasila versi pemerintah—dan siapa pun yang mempertanyakan tafsir itu dituduh anti-nasional atau subversif. Politik dibersihkan dari warna-warni partai, hanya menyisakan partai negara dan organisasi massa yang dikendalikan. Kebebasan berpikir dipersempit menjadi loyalitas, dan perbedaan dianggap penyakit. Di balik retorika pembangunan dan stabilitas, berdirilah rezim yang menata seluruh kehidupan masyarakat seperti struktur militer—dari sekolah, kampus, birokrasi, hingga desa.

Kultus kepemimpinan menjadi nadi dari seluruh sistem itu. Jika di masa Sukarno rakyat diminta mencintai sang “Pemimpin Besar Revolusi”, maka di masa Suharto rakyat dilatih untuk memuja “Bapak Pembangunan.” Dalam kedua bentuknya, kepemimpinan diposisikan bukan sebagai mandat rakyat, melainkan sebagai karisma ilahi, sebagai pusat gravitasi yang tak boleh digugat. Di sinilah wajah fasisme Indonesia menemukan bentuk khasnya: bukan dengan parade bendera dan simbol rasis seperti di Eropa, tetapi melalui disiplin paternalistik, doktrin kesetiaan, dan penghapusan ruang kritis. Fasisme kita tidak menjerit dengan slogan kebencian, melainkan berbisik melalui semboyan persatuan dan pembangunan.


Reformasi yang Setengah Hati: Demokrasi dalam Bayangan Rezim Lama

Ketika Orde Baru runtuh pada 1998, banyak yang berharap Indonesia akhirnya menemukan jalannya menuju kebebasan sejati. Reformasi dijanjikan sebagai babak baru dalam sejarah bangsa, di mana rakyat akan kembali menjadi pemilik sah republik ini. Namun harapan itu dengan cepat berubah menjadi ilusi. Reformasi hanya mengganti wajah, bukan struktur.

Militer memang mundur dari politik formal, tetapi kekuasaannya tidak pernah benar-benar dipreteli. Para jenderal pensiunan masuk ke partai-partai politik, duduk di parlemen, atau menguasai jaringan bisnis yang besar. Logika keamanan tetap menjadi dasar pemerintahan, terutama di daerah-daerah “rawan” seperti Aceh, Maluku, dan Papua. Di pusat, elit politik baru lahir dari rahim lama: teknokrat Orde Baru, pengusaha kroni, dan politisi warisan Golkar yang memoles diri dengan jargon demokrasi.

Reformasi gagal membongkar akar otoritarianisme dan hanya menggantinya dengan bentuk baru yang lebih halus—klientelisme politik. Kekuasaan tidak lagi berada di tangan satu figur tunggal, tetapi disebar melalui jaringan kepentingan ekonomi dan politik yang saling bergantung. Partai-partai politik menjadi kendaraan bagi elite untuk memperkaya diri dan membangun patronase, bukan alat perjuangan rakyat. Uang menggantikan ideologi; popularitas menggantikan gagasan.

Demokrasi elektoral memang berjalan, tetapi ia seperti kulit kosong tanpa jiwa. Di balik pemilu yang rutin, oligarki tetap berkuasa. Di belakang jargon transparansi, korupsi merajalela. Sementara rakyat, sekali lagi, hanya menjadi objek mobilisasi. Reformasi yang setengah hati itu, tanpa keberanian membongkar warisan Orde Baru, justru membuka ruang bagi otoritarianisme baru yang kini bersembunyi di balik senyum populisme dan seremonial demokrasi.

Negara yang pernah berdiri dengan semboyan “kedaulatan rakyat” kini dikuasai oleh koalisi politisi, pengusaha, dan aparat keamanan. Dalam sistem seperti itu, tidak ada ruang bagi kritik sejati; oposisi dibeli, suara rakyat diredam dengan hiburan dan janji-janji palsu. Kekuasaan tak lagi memakai sepatu lars, tetapi mengenakan jas resmi dan berbicara tentang “investasi” serta “stabilitas nasional.”


Dari Revolusi Nasional ke Kolonialisme Internal

Akibat dari semua itu sangat dalam: demokrasi Indonesia tumbuh cacat, masyarakat sipil lama terbungkam, dan budaya politik dibangun di atas kepatuhan, bukan partisipasi. Dalam logika seperti ini, kekuasaan selalu datang dari atas, bukan dari rakyat. Maka setiap upaya perlawanan lokal—termasuk yang muncul di Papua—selalu dianggap ancaman bagi keutuhan nasional. Negara yang dibentuk dari revolusi pembebasan kini menggunakan seluruh perangkat kekuasaannya untuk menindas revolusi lain yang menuntut hal yang sama: kebebasan dan martabat.

Ironinya, militerisme dan otoritarianisme Indonesia hari ini masih meminjam mitos yang sama dengan tahun 1945: bahwa bangsa ini harus “diselamatkan” dari ancaman luar dan dalam. Namun justru atas nama penyelamatan itulah, rakyat terus kehilangan suaranya. Revolusi 1945, yang seharusnya membuka jalan bagi demokrasi, keadilan, dan kedaulatan rakyat, berubah menjadi penjara panjang di mana kebenaran hanya boleh diucapkan dengan izin kekuasaan.


Mengapa Papua Harus Belajar dari Tragedi Indonesia 

Bagi bangsa West Papua, kisah revolusi Indonesia adalah peringatan sejarah yang pahit. Ketika kekuasaan dipusatkan di tangan segelintir orang, dan ketika perjuangan dibungkus dengan bahasa militer dan kultus pemimpin, maka penderitaan rakyat akan kembali berulang. Kemerdekaan yang dibangun di atas logika kekerasan hanya akan melahirkan penjajahan baru—dengan wajah berbeda, tetapi dengan luka yang sama.

Perjuangan Papua tidak boleh jatuh ke dalam jebakan yang sama: mengganti satu bentuk dominasi dengan bentuk dominasi lain. Revolusi Papua harus berakar pada kesadaran, bukan senjata; pada solidaritas, bukan hierarki; pada nilai-nilai Melanesia yang menghargai konsensus, kebersamaan, dan penghormatan terhadap tanah serta kehidupan. Hanya dengan cara itu, Papua dapat menghindari nasib tragis republik tetangga yang pernah berjanji “merdeka” tetapi masih menindas bangsanya sendiri.

Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa revolusi tanpa pembebasan batin, tanpa kesadaran sosial, akan selalu melahirkan tirani baru. Maka bagi Papua, kemerdekaan sejati tidak cukup berarti mengusir penjajah, tetapi menolak seluruh bentuk kekuasaan yang mematikan suara rakyat. Revolusi sejati bukanlah pergantian bendera, melainkan penebusan martabat manusia.

Comments