Logika Standar Ganda Indonesia: TPNPB dan Label Teroris

Logika Standar Ganda Indonesia: TPNPB dan Label Teroris

Di Indonesia, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) kerap disebut “teroris” padahal metode mereka jauh lebih selektif dibanding Hamas; logika standar ganda menutupi akar konflik dan legitimasi kekerasan negara di Papua.


Di Indonesia, narasi resmi dan media sering menampilkan TPNPB sebagai ancaman teror yang harus diberantas, padahal jika ditelisik lebih dalam, label itu jauh dari akurat. 

Terlihat jelas ada yang aneh dalam cara standar ganda diterapkan. Kelompok bersenjata Palestina, seperti Hamas, yang melakukan aksi kekerasan skala luas dan menargetkan warga sipil, kerap mendapat perlakuan yang lebih “sopan” di panggung politik global, bahkan dianggap sebagai perlawanan sah dalam konteks nasional mereka. 

Sementara TPNPB, meski melakukan aksi dengan skala jauh lebih kecil dan metode yang relatif selektif, langsung distempel sebagai 'teroris' begitu mereka menyerang pos militer atau simbol negara. Tulisan ini menggugat ketidakkonsistenan logika tersebut.


TPNPB vs Terorisme Konvensional: Sasaran dan Motif yang Berbeda

Metode TPNPB, meski tetap kontroversial karena penyanderaan, jika dibandingkan dengan terorisme konvensional, sangat berbeda. Mereka tidak berideologi anti-suku, ras, atau agama tertentu, tidak menebar bom di pusat kota, dan tidak menimbulkan korban secara acak. Mereka lebih memilih simbol, aparat, dan fasilitas strategis sebagai sasaran.

Dalam konteks Papua, yang selama puluhan tahun menghadapi marginalisasi ekonomi, politik, dan budaya, tindakan itu adalah ekspresi perlawanan bersenjata yang diarahkan dan terukur. Namun, narasi politik domestik lebih suka menampilkan mereka sebagai ancaman eksistensial, untuk membenarkan operasi militer besar-besaran yang sebenarnya lebih sering mengorbankan masyarakat sipil yang tak berdosa.


Kekuasaan, Propaganda, dan Legitimasi Kekerasan

Standar ganda ini bukan sekadar soal label semantik. Ini soal kekuasaan dan propaganda. Di mata negara, TPNPB harus ditakuti, harus dibingkai sebagai teroris agar legitimasi penggunaan kekuatan masif menjadi tidak terganggu. 

Di sisi lain, kelompok bersenjata lain yang menentang kepentingan negara lain, bahkan melakukan serangan lebih brutal terhadap warga sipil, kerap diperlakukan berbeda karena konteks geopolitik dan diplomasi internasional. Indonesia sendiri, dalam konteks ini, tampak lebih sibuk mempertahankan narasi domestik daripada menegakkan konsistensi hukum atau logika moral universal.

Yang lebih kontroversial, labeling ini menutupi akar masalah yang sebenarnya: ketidakadilan struktural, marginalisasi masyarakat adat, dan kegagalan politik serta ekonomi di Papua. Dengan menempelkan label “teroris” pada TPNPB, setiap pembicaraan tentang akar konflik—tentang sejarah yang panjang dan penindasan yang nyata—disebut sebagai pembelaan terhadap teror. Akibatnya, dialog menjadi terputus, ruang politik menyempit, dan eskalasi kekerasan justru terus terjadi.


Ironi Standar Ganda: Perlawanan vs Narasi Teror

Perbandingan dengan Hamas atau kelompok perlawanan lain di dunia hanya menegaskan bahwa standar ganda ini bukan soal kekerasan itu sendiri, tetapi soal siapa yang memiliki kekuatan untuk mendikte narasi dan siapa yang harus dikekang. 

TPNPB, meskipun kontroversial, sebenarnya menggunakan metode yang jauh lebih “soft”, selektif, dan terarah dibandingkan terorisme global. Namun narasi di Indonesia menolak melihat perbedaan ini. Label “teroris” menjadi senjata politik untuk membungkam, bukan alat untuk menegakkan hukum.

Pada akhirnya, logika standar ganda ini memperkuat ketidakadilan struktural dan menutup mata terhadap realitas Papua. Daripada menghadapi akar konflik, negara lebih suka memperkuat framing yang menakutkan: TPNPB sebagai ancaman mutlak. 


Kesimpulan

Di mata internasional, perlawanan bersenjata terhadap rezim opresif bisa sah menurut hukum Hak Asasi Manusia, tapi Indonesia bersikeras men-label TPNPB “teroris” meski aksinya terkontrol. 

Ironisnya, narasi teror ini sering lebih merusak daripada tindakannya sendiri; sudah saatnya pemerintah meninjau ulang cara memandang dan menangani konflik di Papua.

Comments