Makar yang Dimakarkan: Absurditas Kriminalisasi Pejuang Damai Papua
Makar yang Dimakarkan: Absurditas Kriminalisasi Pejuang Damai Papua
Di negara yang konon berdiri di atas Pancasila dan menjunjung Bhinneka Tunggal Ika, pasal makar terus digunakan sebagai alat ampuh untuk membungkam suara-suara damai dari Tanah Papua.
Ironisnya, justru orang-orang yang memperjuangkan dialog, pena, dan panggilan moral kemanusiaan—alih-alih kekerasan—yang menjadi sasaran kriminalisasi. Dalam konteks inilah, pembebasan empat tahanan politik dari Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) pada 26 November 2025 menjadi cermin yang menyingkap wajah paling absurd dari demokrasi Indonesia kontemporer.
Apa yang terjadi pada empat tapol tersebut bukanlah insiden tunggal, melainkan bagian dari pola panjang di mana ekspresi politik Papua—bahkan ketika disampaikan secara damai—dianggap ancaman bagi negara. Namun justru di situlah letak kekonyolannya: negara yang kuat tidak semestinya takut pada selembar spanduk, deklarasi damai, diskusi terbuka, atau mimpi tentang masa depan sebuah bangsa. Ketakutan semacam itu adalah ciri negara yang rapuh, bukan negara yang percaya diri.
Pasal Makar: Instrumen Hukum Penjerat Pikiran
Pasal makar dalam KUHP seharusnya menjerat tindakan kekerasan terorganisir yang bertujuan menggulingkan pemerintahan dengan senjata. Namun dalam praktiknya, khususnya di Papua, pasal ini menjadi pasal karet yang dapat ditarik ke mana saja: dari aksi pengibaran simbol budaya, rapat damai, seminar politik, sampai sekadar menyampaikan aspirasi kedaulatan secara lisan.
Pada empat tapol NFRPB, pasal makar kembali dipaksakan. Tidak ada senjata. Tidak ada rencana kekerasan. Tidak ada upaya pengambilalihan kekuasaan dengan kekuatan fisik. Yang ada hanyalah gagasan: keyakinan politik tentang masa depan Papua. Dan gagasan—dalam negara demokratis—tidak pernah bisa dianggap kriminal.
Kriminalisasi terhadap pikiran bukan saja melanggar demokrasi, tetapi juga menertawakan logika hukum itu sendiri. Negara seolah berkata: “Kami negara besar, tapi kami takut pada opini kalian.” Sebuah absurditas yang hanya dapat lahir dari mentalitas kolonial dan trauma terhadap imajinasi rakyat.
Empat Tapol NFRPB: Lambang Negara yang Gagap Demokrasi
Pembebasan empat tapol NFRPB adalah kabar baik, tetapi sekaligus tamparan keras bagi akal sehat hukum. Mereka seharusnya tidak pernah ditangkap sejak awal. Vonis dan penahanan mereka mencerminkan betapa jauhnya praktik hukum dari prinsip konstitusional bahwa kebebasan berpendapat dijamin oleh negara, dan bahwa konflik politik seharusnya diselesaikan melalui dialog, bukan penjara.
Jika negara percaya diri dengan legitimasi sejarahnya, ia tidak perlu memenjarakan mimpi rakyat Papua. Hanya rezim yang takut pada warganya yang merasa perlu membungkam pikiran dengan borgol.
Pembebasan mereka memberi harapan—bahwa tekanan publik, solidaritas internasional, dan kesadaran moral dari para pembela HAM masih mampu membuat negara mundur selangkah dari jurang otoritarianisme. Namun harapan itu tidak boleh membuat kita lupa: mereka hanyalah empat dari puluhan, bahkan ratusan tapol Papua yang pernah diperlakukan secara serupa sejak 1960-an.
Negara Pancasila yang Kehilangan Rohnya
Pancasila menjunjung keadilan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan hikmat kebijaksanaan. Tetapi ketika Pancasila hanya menjadi slogan tanpa roh, ia berubah menjadi topeng yang menutupi praktik kekuasaan yang sebaliknya.
Bagaimana mungkin negara yang mengaku berpancasila, jika:
- takut pada bendera budaya?
- takut pada seminar damai?
- takut pada diskusi sejarah?
- takut pada pendapat rakyat yang tidak sepakat?
Jika perbedaan dianggap “makar”, maka Bhinneka Tunggal Ika kehilangan makna. Yang tinggal bukan kebhinekaan, melainkan penyeragaman paksa.
Ironi terbesar adalah bahwa kriminalisasi justru memperkuat narasi bahwa negara Indonesia tidak siap berdialog secara dewasa. Seolah-olah demokrasi hanya berlaku di Pulau Jawa, sementara Papua diperlakukan sebagai ruang darurat yang harus diatur dengan pendekatan keamanan semata.
Mereka Harus Menjadi Korban Terakhir
Pembebasan empat tapol NFRPB semoga menjadi batas sejarah: yang terakhir. Bukan karena negara tiba-tiba sadar, tetapi karena publik harus makin kritis dan lantang mempertanyakan absurditas ini. Negara perlu beranjak dari logika lama—logika penjajahan pikiran—ke logika demokrasi yang dewasa.
Tidak boleh ada lagi:
- penangkapan atas dasar pendapat politik;
- kriminalisasi simbol;
- pemidanaan aktivis damai;
- pasal makar digunakan untuk membungkam demokrasi.
Solusi untuk Papua tidak pernah ada di pengadilan, penjara, apalagi moncong senjata. Solusinya ada pada dialog bermartabat, penghormatan terhadap identitas, rekonsiliasi, dan keberanian untuk mengakui luka sejarah.
Menuju Demokrasi yang Tidak Takut pada Warganya
Demokrasi sejati bukanlah demokrasi yang takut pada rakyatnya. Ia percaya diri, mampu mendengar, dan berani menegosiasikan masa depan bersama. Negara yang terus memenjarakan pikiran hanya menegaskan ketidakpercayaan diri terhadap fondasi moral dan historisnya sendiri.
Pembebasan empat tapol NFRPB merupakan langkah kecil, namun signifikan. Kini tugas sejarah adalah memastikan bahwa langkah kecil itu membuka jalan menuju perubahan besar—menuju negara yang tidak lagi menjadikan pasal makar sebagai senjata untuk memadamkan cahaya damai dari Papua.
Semoga keempat tapol NFRPB — Abraham Goram Gaman, Piter Robaha, Nikson Mai, dan Maksi Sangkek — benar‑benar menjadi korban terakhir dari absurditas hukum dan politik yang sudah berlangsung terlalu lama di Indonesia. Dan semoga dari penderitaan mereka, lahir keberanian baru untuk membangun relasi yang lebih adil antara negara dan rakyat Papua.

Comments
Post a Comment