NKRI vs Papua Merdeka: Membayangkan Ulang Relasi Politik yang Adil
Dua Nasionalisme yang Bertubrukan: Akar Kebuntuan Politik Jakarta–Papua
Hubungan antara Indonesia dan Papua sering kali buntu karena dua arus besar yang saling menguatkan: nasionalisme Jakarta yang takut kehilangan wilayah, dan nasionalisme Papua yang lahir dari pengalaman panjang kekerasan, marginalisasi, serta perasaan tidak dianggap sebagai subjek penuh dalam negara.
Di tengah kebuntuan itu, imajinasi politik baru menjadi sangat penting—bukan sekadar kompromi politik jangka pendek, tetapi sebuah penataan ulang relasi yang menyentuh akar masalah. Inilah konteks di mana gagasan dekolonisasi inklusif dan kemerdekaan asosiatif terasa relevan, bukan sebagai utopia, melainkan sebagai cara menghindari dua pilihan ekstrem yang sama-sama membawa risiko besar.
Melanesianitas sebagai Fondasi Dekolonisasi yang Inklusif
Dekolonisasi inklusif bertolak dari kesadaran bahwa orang Papua bukan hanya warga negara, tetapi juga anggota sebuah dunia budaya yang lebih tua dan lebih luas: Melanesia.
Pengakuan terhadap identitas Melanesia berarti mengakui cara hidup, bahasa, seni, serta struktur sosial yang membentuk manusia Papua selama ribuan tahun. Selama ini, banyak kebijakan pembangunan datang dari logika luar: proyek-proyek besar yang masuk tanpa memahami ritme ekologis, relasi adat, atau cara orang Papua memaknai ruang hidup mereka.
Ketika pembangunan dipaksakan dari luar, ia tidak hanya gagal secara teknis, tetapi juga melukai martabat. Dekolonisasi inklusif menginginkan yang sebaliknya: pembangunan yang muncul dari Papua sendiri, dengan orang Papua sebagai produsen gagasan, bukan sekadar penerima kebijakan.
Keadilan Ekonomi dan Politik: Ujian Nyata Setelah Pengakuan Identitas Budaya
Namun, pengakuan budaya bukanlah akhir, melainkan pintu awal. Orang Papua tidak hanya meminta dihormati budayanya, tetapi juga hak mereka atas kesejahteraan dan sumber daya alam. Otonomi Khusus 2001 menjadi contoh paling jelas tentang bagaimana kewenangan yang diberikan dari pusat tidak otomatis berujung pada pemerataan dan pemberdayaan.
Banyak orang Papua melihat bahwa sumber daya alam mereka—hutan, tambang, laut—tidak memberi manfaat langsung pada masyarakat lokal. Mereka merasa tanah leluhur yang sakral dirampas atas nama pembangunan, sementara mereka sendiri tetap terpinggirkan. Karena itu, dekolonisasi inklusif membutuhkan pembaharuan mendasar dalam pengelolaan ekonomi: penguatan lembaga adat dalam keputusan ekonomi, pembagian keuntungan yang adil, dan pembangunan yang menghormati batas ekologis Papua.
Rekonsiliasi Sejarah sebagai Prasyarat Membangun Kepercayaan
Luka sejarah yang panjang menambah kompleksitas persoalan. Banyak tragedi masa lalu yang belum pernah benar-benar dibicarakan secara jujur. Ketika negara mengabaikan atau memperkecil pengalaman penderitaan, kepercayaan tidak akan pernah tumbuh. Itulah mengapa gagasan rekonsiliasi menjadi begitu penting: bukan untuk mengorek luka sambil membuka ruang saling menyalahkan, tetapi untuk memulihkan martabat.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Papua dapat menjadi forum moral dan politik untuk menyatukan kesaksian adat, suara korban, lembaga keagamaan, serta pemerintah. Dalam kebudayaan Melanesia, penyembuhan tidak hanya terjadi melalui hukum formal, tetapi juga melalui ritus adat, dialog komunitas, dan simbol-simbol spiritual yang memberi ruang bagi pemulihan relasi. Tanpa penyembuhan, semua proposal politik akan berdiri di atas fondasi yang retak.
Kemerdekaan Asosiatif: Jalan Tengah Menuju Kedaulatan yang Adil
Dalam konteks kebuntuan antara “NKRI harga mati” dan “Papua Merdeka harga mati,” kemerdekaan asosiatif muncul sebagai gagasan yang patut dipertimbangkan.
Kemerdekaan asosiatif adalah sebuah model di mana sebuah wilayah memperoleh kedaulatan internal yang luas—termasuk dalam pendidikan, ekonomi, hukum adat, budaya, dan pengelolaan sumber daya—namun tetap menjalin hubungan resmi dengan negara yang lebih besar. Ini bukan bentuk pemisahan penuh, tetapi juga bukan otonomi setengah hati.
Hubungan dibangun melalui perjanjian yang dinegosiasikan secara setara, bukan melalui pemaksaan sepihak. Model seperti ini bukanlah teori semata; ia telah digunakan di berbagai belahan dunia.
Belajar dari Dunia: Contoh Kemerdekaan Asosiatif yang Berhasil
Greenland, misalnya, menjadi contoh penting. Wilayah berbudaya Inuit ini secara historis berada di bawah Denmark, tetapi sejak 1979 mereka menerima home rule, dan pada 2009 maju ke tahap self-government. Greenland mengelola hampir semua urusan domestiknya secara penuh, memiliki kendali atas sumber daya alam, hukum adat Inuit, pendidikan, dan kebijakan ekonomi, tetapi tetap berada dalam Kerajaan Denmark untuk urusan luar negeri tertentu dan pertahanan. Meski memiliki identitas etnis dan sejarah kolonisasi yang berbeda, Greenland tidak dipaksa memilih antara “lepas total” atau “menyatu total”—mereka menempuh jalan tengah yang diatur melalui perjanjian.
Contoh lain adalah Kepulauan Cook dan Niue, dua wilayah Polinesia yang memiliki kemerdekaan asosiatif dengan Selandia Baru. Mereka memiliki parlemen sendiri, konstitusi sendiri, dan kendali penuh atas urusan domestik, namun tetap menjalin hubungan dengan Selandia Baru dalam bidang tertentu, khususnya dalam paspor dan hubungan luar negeri. Yang menarik, hubungan ini tidak bersifat memaksa—baik Cook Islands maupun Niue dapat kapan saja memilih untuk merdeka penuh, tetapi mereka memilih mempertahankan hubungan asosiatif karena menguntungkan dan memberi stabilitas.
Di Amerika Serikat, beberapa wilayah Pasifik juga memiliki status free association, seperti Federated States of Micronesia, Palau, dan Marshall Islands, yang mengatur sendiri urusan domestik tetapi tetap menjalin hubungan tertentu dengan AS melalui Compact of Free Association.
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa kemerdekaan asosiatif bukanlah ancaman bagi negara, tetapi cara kreatif untuk menyelesaikan masalah kolonialisme, menjaga stabilitas, dan memberikan ruang bagi identitas lokal tumbuh tanpa harus memutus hubungan internasional yang penting.
Kedaulatan Lokal dan Dialog Berkelanjutan: Syarat Kemerdekaan Asosiatif
Jika formula serupa diterapkan untuk Papua, maka Papua dapat memiliki kendali penuh atas lembaga adat, pendidikan berbasis budaya Melanesia, kebijakan ekonomi, hukum lokal, serta sumber daya alam, sementara hubungan dengan Indonesia tetap ada dalam bentuk yang dinegosiasikan bersama.
Semua ini hanya mungkin jika dialog yang jujur dan berkelanjutan dibangun. Selama ini, ketakutan terhadap disintegrasi sering membuat negara menolak ruang otonomi yang lebih luas. Namun sejarah menunjukkan bahwa stabilitas justru lahir dari penghormatan pada identitas lokal, bukan dari sentralisasi yang memaksa.
Ketika masyarakat merasa dihargai, mereka akan memilih hubungan yang stabil dan sukarela. Ketika mereka merasa diabaikan, keinginan untuk memisahkan diri justru menguat.
Kesimpulan
Dekolonisasi inklusif dan kemerdekaan asosiatif tidak menjanjikan hasil cepat, tetapi menawarkan arah baru untuk keluar dari lingkaran kekerasan dan kecurigaan.
Jalan ini menuntut keberanian moral dari kedua belah pihak: keberanian negara untuk mengakui identitas dan hak historis Papua, serta keberanian masyarakat Papua untuk membayangkan bentuk relasi baru yang adil dan saling menghormati.
Di sanalah mungkin letak satu-satunya harapan untuk menghadirkan masa depan Papua yang bermartabat tanpa merusak keutuhan negara. Jalan tengah ini bukan yang paling mudah, tetapi justru karena itulah ia bisa jadi yang paling layak diperjuangkan.


Comments
Post a Comment