Mengapa Mendukung Papua Merdeka Bukan Tindakan Makar
Mengapa Mendukung Papua Merdeka Bukan Tindakan Makar
Dukungan pada Papua merdeka bukan makar, melainkan hak berpendapat dan solidaritas terhadap hak menentukan nasib sendiri, sesuai UUD 1945 dan sejarah Papua yang tidak pernah bergabung secara sukarela.
Ada sesuatu yang keliru dalam cara negara ini memandang suara-suara yang berbicara tentang Papua merdeka. Seolah-olah setiap kalimat yang menyinggung hak menentukan nasib sendiri segera ditempatkan dalam kotak hitam bernama “makar”, seakan-akan sekadar menyebut kata “merdeka” telah menjadi senjata yang mengancam keberadaan bangsa. Padahal, jika kita kembali pada akar konstitusi, pada kesadaran sejarah, dan pada nurani paling dasar sebagai manusia, mendukung Papua merdeka bukanlah tindakan kriminal, bukan upaya menggulingkan kekuasaan, bukan pula ancaman terhadap negara. Itu adalah keberanian moral, sebuah upaya mengembalikan martabat suatu bangsa yang sejarahnya penuh luka dan manipulasi.
Konstitusi Indonesia justru memberikan ruang sangat luas untuk menyatakan pendapat. Undang-Undang Dasar 1945 berbicara dengan jelas tentang kebebasan menyampaikan pikiran, menyuarakan aspirasi, bahkan mengkritik negara. Yang dilarang oleh KUHP ketika bicara soal makar adalah penggunaan kekerasan, ancaman senjata, dan tindakan fisik untuk menggulingkan pemerintah. Sekadar berbicara tentang hak bangsa Papua untuk menentukan masa depannya tidak memenuhi syarat makar dalam bentuk apa pun. Mengatakan “Papua berhak merdeka” tidak lebih dari sebuah pendapat politik, dan tidak ada satu pun pasal hukum yang melarang warga menyampaikan opini. Ironis jika negara yang bangga menyebut dirinya demokratis justru begitu takut pada suara warganya sendiri.
Lebih dari itu, konstitusi Indonesia sendiri mengandung kalimat yang jauh lebih besar dari segala kekhawatiran aparat negara: “Kemerdekaan adalah hak segala bangsa.” Kalimat ini bukan hiasan retoris dalam pembukaan UUD; ia adalah prinsip moral yang mendasari kelahiran Republik Indonesia. Ketika bangsa Indonesia mendukung kemerdekaan Palestina, ketika tokoh agama besar seperti MUI menyerukan solidaritas terhadap bangsa tertindas, ketika publik Indonesia dengan penuh emosi menyebut penjajahan sebagai kejahatan kemanusiaan, sebenarnya mereka sedang mengakui satu prinsip yang sama: bahwa setiap bangsa berhak bebas dari penindasan. Maka tidak ada alasan moral untuk menolak hak yang sama bagi bangsa Papua, kecuali jika kita ingin menjadikan prinsip itu selektif, hanya berlaku untuk bangsa lain tetapi tidak untuk bangsa di rumah sendiri.
Di sinilah kita perlu jujur menatap sejarah. Papua tidak pernah secara sukarela menyerahkan diri kepada Indonesia. Tidak pernah ada keputusan rakyat yang dilakukan secara bebas mengenai masa depannya. Proses integrasi Papua adalah hasil perundingan geopolitik antara tiga kekuatan — Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat — di tengah panasnya Perang Dingin. Ketika akhirnya Penentuan Pendapat Rakyat digelar pada 1969, dunia menyaksikan sebuah ironi: hanya 1.026 orang dipilih untuk mewakili lebih dari 800.000 rakyat Papua saat itu, sebagian besar berada di bawah tekanan militer dan intimidasi. Banyak diplomat PBB mencatat kejanggalan itu. Banyak sejarawan menyebut Pepera sebagai representasi demokrasi yang paling cacat dalam sejarah modern. Jika integrasinya saja lahir dari paksaan, mengapa suara Papua yang menuntut haknya kini dianggap ancaman?
Dukungan terhadap Papua merdeka muncul bukan dari kehendak menghancurkan negara, tetapi dari kesadaran bahwa penindasan tidak dapat dipertahankan selamanya. Selama puluhan tahun, kekerasan, eksploitasi ekonomi, dan kebijakan keamanan telah menciptakan luka yang tidak pernah sembuh. Ketika seseorang mengatakan bahwa Papua berhak merdeka, ia sebenarnya sedang mengungkapkan penolakan terhadap ketidakadilan yang berlangsung terlalu lama. Ia sedang menyuarakan bahwa ada sesuatu yang gagal dalam relasi negara dengan Papua. Ia sedang mengingatkan bahwa hak untuk menentukan nasib sendiri adalah hak yang diakui oleh Piagam PBB, oleh Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, dan oleh hukum internasional yang juga diratifikasi Indonesia. Apakah mungkin negara menuduh “makar” terhadap prinsip yang ia akui sendiri?
Barangkali justru masalahnya bukan pada mereka yang mengatakan Papua berhak merdeka, melainkan pada negara yang alergi terhadap kejujuran sejarah. Label makar digunakan untuk membungkam suara, bukan untuk menjaga keamanan. Ia menjadi alat untuk memadamkan kritik, bukan untuk menegakkan ketertiban. Kita seakan hidup dalam bayang-bayang warisan Orde Baru, di mana negara begitu rapuh hingga menganggap opini sebagai ancaman mematikan. Demokrasi tidak seharusnya bekerja seperti itu. Negara yang percaya diri tidak takut pada perdebatan. Negara yang matang tidak panik mendengar aspirasi politik yang berbeda. Dan negara yang memegang teguh keadilan seharusnya berani membuka kembali sejarah yang pernah dipaksakan.
Mendukung Papua merdeka bukan tindakan melawan negara; itu adalah tindakan berdiri bersama nilai yang jauh lebih besar dari negara itu sendiri: keadilan, martabat, dan hak setiap bangsa untuk menentukan hidupnya. Ketika seseorang menyatakan solidaritas pada Papua, ia tidak sedang membawa bom atau senjata. Ia membawa kata-kata. Dan dalam demokrasi, kata-kata adalah hak, bukan kejahatan. Mengatakan Papua merdeka hanyalah bagian dari perjuangan menempatkan bangsa Papua kembali sebagai subjek sejarahnya sendiri, bukan objek geopolitik atau proyek politik siapa pun. Ini bukan tentang membongkar Indonesia; ini tentang mengembalikan kemanusiaan pada tempat yang seharusnya.
Pada akhirnya, sejarah hanya menghargai mereka yang berani berkata benar ketika kebenaran menjadi berbahaya. Mendukung Papua merdeka bukan makar. Itu adalah langkah kecil menuju keberanian untuk menatap masa lalu tanpa tipu daya dan masa depan tanpa penindasan. Jika Indonesia ingin benar-benar menjadi bangsa besar, ia harus memiliki cukup ruang untuk menampung suara-suara yang mengingatkan bahwa kemerdekaan tidak pernah layak dipertahankan dengan membungkam kemerdekaan bangsa lain.


Comments
Post a Comment