Nasionalisme atau Ilusi Moral? Solidaritas Non-OAP dalam perjuangan Papua

Nasionalisme atau Ilusi Moral? Solidaritas Non-OAP dalam perjuangan Papua

Solidaritas Indonesia untuk Papua sering terbentur nasionalisme: lebih banyak retorika dan rasa aman moral daripada keberpihakan nyata pada hak-hak rakyat Papua.


Solidaritas yang Terkungkung Nasionalisme

Mari kita hadapi kenyataan dengan jujur: solidaritas non-OAP (Orang Asli Papua) terhadap perjuangan Papua hampir selalu terhalang oleh tembok nasionalisme yang dipuja-puja.

Banyak orang Indonesia mengaku peduli, tetapi kenyataannya, kesetiaan terhadap “kesatuan wilayah” sering lebih kuat daripada kepedulian terhadap hak-hak dasar rakyat Papua. 

Solidaritas berhenti di retorika, postingan media sosial, atau wacana moral yang aman, karena bertindak nyata berarti menentang arus, menghadapi stigma, dan bahkan risiko hukum.

Jika solidaritas non-OAP hanya sebatas ikut-ikutan atau memberi dukungan simbolis, apakah itu benar-benar solidaritas, atau sekadar pelampiasan moral yang menenangkan hati sendiri? 

Inilah dilema paling tajam: banyak yang ingin “tampak peduli” tanpa ingin kehilangan posisi nyaman.


Kesadaran Moral yang Terpinggirkan

Ada segelintir intelektual, aktivis, dan generasi muda yang mencoba membaca sejarah Papua dengan kritis. Mereka memahami bahwa Papua memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri, dan bahwa ketidakadilan struktural telah berlangsung selama puluhan dekade. 

Namun, kesadaran moral semacam ini sering dibayangi stigma: mereka dianggap “pro-separatis” atau bahkan dicap sebagai penghianat bangsa.

Dalam konteks ini, solidaritas rakyat Indonesia untuk Papua bukan hanya sulit, tetapi nyaris mustahil muncul dalam jumlah signifikan, karena terpangkas oleh dominasi narasi nasionalisme.


Solidaritas Pragmatik: Kepedulian Tanpa Nyali

Yang lebih umum adalah solidaritas pragmatis. Dukungan sering muncul bukan karena pengakuan hak-hak Papua secara substansial, melainkan karena kepentingan politik atau ekonomi pihak non-OAP. Fenomena ini terlihat jelas, misalnya, dalam konteks pilpres, ketika dukungan terhadap isu Papua sering dipengaruhi oleh pertimbangan strategi politik, bukan keberpihakan nyata kepada masyarakat adat.

Solidaritas jenis ini rapuh, mudah hilang, dan mempertahankan ketidakadilan yang sama dengan yang mereka “kritik.” Solidaritas pragmatis ibarat topeng moral: terlihat peduli, tapi tak pernah menyentuh akar masalah.


Simpati Emosional: Moralitas yang Dangkal

Bentuk solidaritas lain muncul lewat rasa kemanusiaan atau estetika moral—melalui kampanye media sosial, hashtag solidaritas, atau aksi budaya. Namun, solidaritas semacam ini sering bersifat simbolis dan sementara. 

Teringat seorang aktivis muda yang meneteskan air mata di depan kamera, menangisi penderitaan yang dilihatnya di pedalaman Papua: kesedihan itu nyata, namun tidak selalu diterjemahkan menjadi dukungan konkret atau perubahan substansial bagi masyarakat yang terdampak.

Bentuk dukungan ini cepat padam begitu isu Papua tidak lagi trending. Ia memberi rasa baik pada non-OAP, tetapi samasekali tidak mengubah hidup orang Papua secara nyata. Bentuk perhatian emosional seperti ini lebih banyak memuaskan ego daripada menegakkan keadilan substantif.


Solidaritas Radikal: Jarang, Tapi Ada

Hanya sedikit yang berani mengambil jalan radikal: menyatu dengan perjuangan politik rakyat Papua, menuntut hak penentuan nasib sendiri meski menghadapi risiko nyata. Mahasiswa, akademisi, atau rakyat biasa yang menentang narasi nasionalisme dominan menghadapi hukum represif, pengucilan sosial, dan tekanan politik. 

Mereka adalah pengecualian, tetapi menjadi bukti nyata bahwa dukungan trans‑etnis bukan sekadar mitos. Keberanian beberapa individu—seperti Surya Anta Ginting, yang konsisten menyuarakan hak penentuan nasib sendiri rakyat Papua; Haris Azhar, yang vokal mengadvokasi korban melalui jalur hukum; Fatia Maulidiyanti, yang menyoroti isu Papua lewat jurnalisme investigatif; dan Veronica Koman, yang aktif mengadvokasi hak-hak masyarakat Adat Papua di kancah internasional—menjadi cermin bagi moralitas kolektif non-OAP yang mayoritas lebih memilih diam. 

Teladan mereka menunjukkan bahwa, meski minoritas, aksi trans‑etnis yang tulus tetap mungkin dan berdampak.


Nasionalisme atau Moralitas?

Kini, pertanyaan yang harus dijawab oleh masyarakat Indonesia bukan: 

“Apakah saya peduli Papua?” 

Tetapi: 

“Apakah saya berani menentang narasi nasionalisme yang menindas hak dasar rakyat Papua?” 

Solidaritas sejati menuntut keteguhan. Jika nasionalisme selalu dijadikan tameng untuk membungkam keadilan, maka solidaritas hanya ilusi — simbol moral yang menenangkan hati sendiri, tanpa menolong siapapun yang tertindas.


Dari Retorika Menuju Aksi Nyata

Sejarah menunjukkan bahwa dukungan lintas identitas memang bisa muncul, mulai dari gerakan mahasiswa hingga solidaritas internasional terhadap isu HAM di Timor Leste pada akhir 1990-an.

Namun dalam kasus Papua, solidaritas non-OAP masih terlalu sering berhenti di retorika. Yang dibutuhkan adalah kesadaran kritis: keberanian membaca sejarah Papua, memahami ketidakadilan struktural, dan menentang stigma yang dilekatkan pada mereka yang menuntut kebebasan Papua. Hanya dengan itu, solidaritas non-OAP bisa menjadi nyata, bukan sekadar ilusi moral yang menyenangkan ego sendiri.


Wim Anemeke 

Comments