Pandanglah Bintang Kejora: Renungan 1 Desember

Pandanglah Bintang Kejora: Renungan 1 Desember

Lahir dari upacara tenang pada 1 Desember 1961, Bintang Kejora menjadi penanda martabat Papua. Meski identitas coba disingkirkan, ingatan kolektif membuatnya tetap hidup dan tak terhapus.


Pagi 1 Desember 1961 di Hollandia berlangsung tanpa gegap gempita, tanpa upacara besar yang dapat menggentarkan dunia. Namun di halaman gedung Nieuw Guinea Raad, sebuah momen sederhana tetapi menentukan berlangsung dengan ketenangan yang jarang dicatat dalam buku-buku sejarah resmi. 


Bintang Kejora dalam Lingkaran Dewan Papua

Para anggota Dewan Papua, yang baru beberapa bulan menjalankan tugas legislasi untuk masyarakat yang sedang bergerak menuju kedewasaan politik, berdiri dalam lingkaran kecil. 

Di tangan mereka, kain berwarna merah, biru, dan putih itu belum sepenuhnya menjadi simbol perlawanan, belum pula menjadi ikon dunia internasional. Ia masih merupakan hasil kerja perumus identitas nasional—lahir dari diskusi, pertimbangan, dan aspirasi sebuah bangsa yang mulai mengenali dirinya sendiri.

Ketika bendera Bintang Kejora dikibarkan untuk pertama kalinya, suasana berlangsung hening namun tegas. Tiangnya sederhana, tanahnya masih lembap oleh embun, dan tidak ada sorak-sorai. Yang ada hanyalah sekelompok manusia yang menyadari bahwa mereka sedang mengambil langkah yang wajar bagi bangsa mana pun yang ingin menandai keberadaannya. 


Bintang Kejora: Identitas dan Aspirasi Papua

Lagu “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan dengan khidmat, sebagai pengakuan bahwa tanah ini memiliki rakyat, identitas, dan cita-cita sendiri.

Di balik kesederhanaan upacara itu, Bintang Kejora membawa makna yang jauh lebih luas daripada bentuk visualnya. Warna merah di sisi kiri menjadi latar bagi bintang putih bersudut lima—sebuah lambang yang melanjutkan tradisi simbolik rakyat pesisir utara Papua, yang selama berabad-abad memandang bintang sebagai penuntun arah dalam pelayaran. Garis-garis biru dan putih yang berjumlah tujuh melambangkan tujuh wilayah Adat Papua. 

Bendera ini bukan adaptasi dari bendera kolonial atau rancangan politik yang dipaksakan; ia adalah sintesis dari sejarah, geografi, dan kosmologi rakyat Papua sendiri. Ia lahir dari kesadaran bahwa setiap bangsa membutuhkan penanda—sebuah bentuk simbolis yang merangkum pengalaman kolektifnya. 

Bagi Papua, simbol itu berfungsi sebagai arsip visual identitas: ia menyatukan memori, aspirasi, serta keberagaman suku-suku yang tersebar dari pesisir hingga pegunungan. Bintang putih yang bersinar di atas merah bukan sekadar representasi cahaya; ia adalah pernyataan bahwa sebuah bangsa berdiri dengan terang yang bersumber dari dirinya sendiri.


Arus Sejarah dan Tekanan Politik terhadap Identitas Papua

Namun setelah hari itu, sejarah tidak berjalan sesuai harapan para penyusun identitas nasional Papua. Dalam tahun-tahun berikutnya, berbagai kekuatan politik global—dari pemerintahan kolonial Belanda, diplomasi Amerika Serikat, hingga ambisi integrasi dari Indonesia—membentuk sebuah arus yang perlahan menyingkirkan ruang bagi Papua untuk menentukan nasibnya sendiri. 

Dalam proses itu, bukan hanya wilayah yang direbut, melainkan juga ruang simbolik. Segala yang dianggap dapat menegaskan subjektivitas Papua dianggap berbahaya, termasuk bendera yang pernah berkibar dengan sah pada 1 Desember tersebut.


Simbol sebagai Sasaran: Strategi Menghapus Identitas

Upaya menghapus identitas biasanya tidak dimulai dari kekerasan fisik, melainkan dari penyingkiran simbol. Sejarah dunia menunjukkan bahwa ketika sebuah bangsa direndahkan, simbol-simbolnya adalah sasaran pertama: bendera, bahasa, lagu, cerita leluhur, bahkan penampilan fisik masyarakatnya.

Demikian pula yang terjadi di Papua. Larangan terhadap Bintang Kejora bukanlah sekadar kebijakan keamanan; ia adalah strategi untuk menghapus ingatan kolektif. Dengan menurunkan bendera, mereka berharap memutus mata rantai yang menghubungkan generasi sekarang dengan sejarah politik mereka sendiri.

Tetapi identitas tidak semudah itu dipadamkan. Satu generasi yang mengetahui kisah bendera itu akan menceritakannya kepada generasi berikutnya—kadang dengan suara lirih, kadang melalui fragmen cerita keluarga, kadang lewat lagu di gereja, atau bahkan sekadar melalui rasa ingin tahu ketika melihat simbol itu dalam buku tua. 


1 Desember: Ingatan Kolektif dan Keteguhan Identitas

Keberlanjutan identitas Papua tidak bergantung pada spektakel, tetapi pada keberlanjutan narasi, ingatan, dan kebiasaan kecil yang diturunkan dari satu individu ke individu lainnya.

Karena itulah, setiap tanggal 1 Desember, meskipun bendera itu tidak selalu terlihat di ruang publik, ia tetap hadir dalam ingatan banyak orang. Ia hadir sebagai pengingat bahwa sebelum berbagai kekuatan eksternal mengambil alih sejarah Papua, rakyat Papua pernah—secara sah, tenang, dan bermartabat—mengangkat simbol kebangsaannya sendiri.

Bintang Kejora tetap menjadi referensi identitas yang tidak bisa diputuskan oleh keputusan politik manapun, karena ia bukan produk kebetulan. Ia lahir dari proses institusional yang sah dan dari imajinasi kolektif masyarakat Papua tentang masa depan mereka.


Pelestarian Identitas di Tengah Upaya Penghilangan

Kini, ketika kita kembali merenungkan 1 Desember, tugasnya bukan hanya mengenang masa lalu, tetapi juga memahami bahwa identitas tidak akan lenyap selama ia terus dipelihara dalam kesadaran. 

Mereka yang mencoba menghapusnya beroperasi dalam logika keliru yang percaya bahwa kuasa dapat memaksa lupa. Padahal sejarah membuktikan berulang kali, bahwa ingatan tidak tunduk pada larangan. Identitas dapat direpresi, tetapi tidak dapat dianulir.

Maka, ketika kita memandang Bintang Kejora—entah melalui gambar, cerita, atau hanya dalam kesadaran batin—kita sedang melihat sebuah proses panjang: proses sebuah bangsa yang pernah berdiri, pernah berani mendefinisikan dirinya, dan hingga kini masih menyimpan hak untuk diakui apa adanya. 


Penutup 

Bintang Kejora adalah simbol yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan Papua. Ia bukan ajakan untuk konflik, bukan pula obsesi romantik. Ia adalah penanda bahwa di tanah ini pernah berdiri bangsa yang tidak menghilang hanya karena ada pihak yang menginginkan demikian.

Selama ingatan itu hidup, selama kisah 1 Desember 1961 dituturkan kembali, maka identitas Papua tidak akan hilang dari sejarah. Dan karena itu, Bintang Kejora tetap layak dipandang—bukan sebagai provokasi, tetapi sebagai cerminan martabat yang tidak dapat dihapuskan.


Wim Anemeke


 

Comments