Papua Bangkit: Menolak Stigma Makar

Papua Bangkit: Menolak Stigma Makar

Vonis empat tapol NFRPB menegaskan stigma makar sebagai alat represi. Rakyat Papua harus bangkit cerdik, bermartabat, dan bersatu untuk perlawanan tanpa kekerasan.


Vonis tujuh bulan penjara terhadap Abraham Goram Gaman, Maksi Sangkek, Nikson May, dan Piter Robaha, yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Makassar pada Rabu, 19 November 2025, menjadi sinyal yang tegas bagi seluruh rakyat Papua:

Bahwa setiap aspirasi politik damai dapat dikriminalisasi, setiap simbol identitas bisa dibingkai sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara, dan setiap suara yang menyerukan dialog berisiko disebut makar.


Utusan Perdamaian yang Dipaksa Menjadi Kriminal

Keempat pria ini hanya menyampaikan surat yang menyerukan dialog damai antara Presiden Indonesia Prabowo Subianto dan Presiden Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) Forkorus Yoboisembut. 

Namun, tindakan yang sejatinya damai ini ditafsirkan secara sepihak oleh aparat dan pengadilan sebagai upaya untuk menggulingkan pemerintah yang sah. Padahal, secara logika hukum dasar dan prinsip asas legalitas (nullum crimen sine lege), tindakan mereka tidak memenuhi unsur tindak pidana. 

Mereka tidak melakukan kekerasan, tidak menghasut, dan tidak menyusun rencana konkrit untuk mengganggu keutuhan negara. Dengan demikian, secara hukum dan moral, mereka bukan kriminal, melainkan utusan perdamaian yang menjalankan hak atas kebebasan berekspresi dan berpolitik secara tertib dan aman.


Stigma Makar: Alat Represi yang Licik dan Brutal

Di sini, kita harus melihat dengan jelas bahwa stigma makar berfungsi sebagai alat represi yang licik dan brutal. Negara—atau lebih tepatnya rezim penguasa—mereduksi politik menjadi kriminalitas, memanfaatkan hukum yang kabur, membungkam suara dengan intimidasi, memindahkan persidangan jauh dari tanah Papua, dan memutus jaringan solidaritas. 

Tindakan ini tidak berbeda dengan cara kolonial Belanda dulu menindas para tokoh pergerakan Indonesia. Saat itu, para pejuang seperti Diponegoro, Cut Nyak Dhien, dan Pattimura menghadapi hukum yang dibuat untuk melindungi kekuasaan kolonial, bukan keadilan. Mereka dihukum, dibuang, atau dieksekusi karena memperjuangkan hak rakyat dan tanah air mereka. Begitu pula sekarang: aparat ingin kita takut, ingin kita diam, ingin kita tunduk. Mereka ingin mengambil martabat kita, dan kita tidak boleh membiarkannya.


Melawan Stigma dengan Kecerdikan dan Kehormatan

Tetapi jangan takut: musuh ini bisa dikalahkan. Perlawanan tidak dilakukan dengan amarah kosong atau kekerasan, melainkan melalui kecerdikan, strategi, dan martabat. Makna dari tindakan yang dikriminalisasi harus direbut kembali: utusan damai tetaplah utusan damai. Narasi ini perlu ditegaskan terus-menerus kepada publik, media, akademisi, dan dunia internasional. 

Advokasi damai, seperti yang dilakukan keempat tapol NFRPB, bukan tindakan makar karena tidak melibatkan kekerasan atau ancaman nyata. Praktik yang seharusnya diadopsi Indonesia adalah membedakan jelas antara aktivitas politik damai dan ancaman nyata terhadap kedaulatan negara, sehingga hukum menjadi alat keadilan, bukan represi politik.

Pasal makar yang disalahgunakan ini harus dibongkar, setiap kasus didokumentasikan, dan bukti represi sistematis ditunjukkan agar jelas bahwa ini bukan sekadar insiden terisolasi. Seharusnya, pasal makar diterapkan secara sempit dan jelas, hanya pada tindakan yang benar-benar melibatkan kekerasan atau ancaman konkret terhadap stabilitas negara. Standar internasional, termasuk ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights, atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang telah diratifikasi oleh Indonesia, menjamin hak atas kebebasan berekspresi, berkumpul, berserikat, dan berpartisipasi dalam urusan publik.


Dialog Damai Ditakuti, Martabat Papua Tak Terbendung

Kasus empat tapol NFRPB membuktikan satu hal: rezim takut pada dialog damai lebih daripada kekerasan. Mereka cepat menghukum pembawa surat damai, tetapi tidak mampu menahan akal, martabat, dan sejarah kita. Kini, lebih dari sebelumnya, seluruh rakyat Papua harus bangkit—berdiri, bersuara, dan bersolidaritas.

Perlawanan cerdas dan bermartabat tidak hanya membuka ruang politik damai, tetapi juga menegaskan bahwa kita tidak akan pernah diam di hadapan ketidakadilan. Perlawanan ini harus bersifat multidimensional dan bergerak melalui budaya. Film, puisi, musik, seni pertunjukan, sejarah, dan kesaksian publik menjadi senjata yang lebih kuat daripada senapan. 

Melalui karya budaya, rakyat Papua menunjukkan wajah mereka sebagai manusia dengan legitimasi sejarah, yang berhak menentukan nasib sendiri. Simbol identitas yang dibingkai sebagai ancaman oleh negara harus diubah menjadi simbol kekuatan moral dan martabat.


Disiplin Moral dan Solidaritas: Senjata Perlawanan Papua

Di atas semua itu, dibutuhkan disiplin moral. Musuh ingin melihat kemarahan kita, ingin kita bereaksi sehingga bisa dijerat hukum lebih jauh. Kita menanggapi dengan ketenangan, prinsip, dan keberanian. Keteguhan moral menjadi perisai, sementara martabat adalah senjata kita.

Perlawanan ini juga harus diperkuat dengan advokasi hukum dan solidaritas akar rumput, jaringan antar komunitas, pemantauan persidangan, dukungan mahasiswa, serta jaringan diaspora. Solidaritas internasional melalui organisasi HAM, forum PBB, dan gereja global menambah tekanan moral. Ketika kita bergerak bersama dengan kecerdikan dan martabat, represi kehilangan kekuatannya.

Rakyat Papua, saatnya menunjukkan bahwa kita bukan ancaman—kita adalah suara sejarah, martabat, dan masa depan yang tidak bisa dibungkam. Berdirilah cerdik, penuh harga diri, dan bersatu. Perlawanan yang benar akan selalu menemukan jalannya.


Wim Anemeke 

Comments