Papua Bangkit Sebagai Pembawa Takdir

 

Papua Bangkit Sebagai Pembawa Takdir

Papua Tanpa Kultus Pemimpin: Menolak Pemujaan yang Membutakan, Menegakkan Martabat Bangsa, dan Mendukung ULMWP sebagai Jalan Politik yang Sah Menuju Pembebasan dan Penentuan Nasib Sendiri.


Pendahuluan 

Dalam perjalanan sejarah banyak bangsa, selalu ada godaan besar untuk menempatkan seorang pemimpin sebagai pusat harapan dan sumber keselamatan. Ketika tekanan politik, penjajahan, atau krisis identitas melanda, rakyat sering mencari figur yang dianggap mampu menyelesaikan semua persoalan. Namun bangsa yang menyerahkan masa depannya kepada satu orang saja sebenarnya sedang melumpuhkan kekuatan dirinya sendiri. 

Ketika pemimpin diposisikan sebagai sosok yang tidak boleh dikritik, yang selalu benar, bahkan yang dianggap “penentu takdir bangsa”, maka bangsa itu sedang menciptakan berhala baru — tuhan palsu dalam bentuk manusia. Pemujaan seperti itu bukan hanya menyingkirkan akal sehat, tetapi juga mengkhianati martabat bangsa.


Mengutamakan Akal demi Masa Depan Bangsa

Oleh karena itu, bangsa Papua tidak boleh jatuh ke dalam jebakan pemujaan pemimpin. Kita menghormati pemimpin yang bekerja, tetapi kita tidak menyembah manusia. Kita menghargai tokoh perjuangan, tetapi kita tidak menyerahkan akal dan masa depan kepadanya. Sebuah bangsa hanya akan benar-benar merdeka ketika rakyatnya sendiri yang mengambil tanggung jawab, bukan ketika mereka menunggu satu figur untuk datang sebagai juru selamat. Sejarah membuktikan bahwa peradaban runtuh bukan karena kehilangan pemimpin hebat, tetapi karena rakyat berhenti mempertanyakan, berhenti berpartisipasi, dan berhenti berpikir.

Papua harus berdiri teguh sebagai bangsa yang menolak kultus individu dan menolak menjadikan pemimpin sebagai berhala. Dalam konteks perjuangan politik saat ini, semakin jelas bahwa perjuangan Papua tidak dapat ditumpukan pada satu tokoh, satu organisasi kecil, apalagi satu figur karismatik yang kemudian dipuja tanpa batas. Kekuasaan semacam itu akan menyingkirkan suara rakyat, menutup ruang kritik, dan merusak solidaritas. Maka yang dibutuhkan bangsa Papua bukan seorang raja kecil atau nabi politik, melainkan sebuah wadah politik kolektif yang mewakili kehendak rakyat sebagai sebuah bangsa — bukan sebagai massa yang pasif.


Wadah Politik Sah Untuk Kemerdekaan Papua

Dalam kerangka inilah ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) hadir sebagai satu-satunya kendaraan politik yang sah, bermartabat, dan diakui secara internasional dalam memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua. 

ULMWP bukan lahir dari ambisi pribadi, melainkan merupakan hasil rekonsiliasi berbagai kelompok perjuangan rakyat Papua, yaitu:

  • WPNCL (West Papua National Coalition for Liberation).
  • NRFPB (National Revolutionary Front for the Liberation of West Papua).
  • PNWP (Parliament of the National West Papua)

Legitimasi ULMWP bukan hanya politis, tetapi juga berdasarkan hukum internasional. Prinsip dasar perjuangan ULMWP bertumpu pada hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri, sebagaimana ditegaskan dalam Piagam PBB Pasal 1(2) dan diperjelas dalam Resolusi Majelis Umum PBB 1514 (XV) tentang Dekolonisasi.


Legitimasi ULMWP dan Hak Politik Rakyat Papua

Analisis hukum internasional, termasuk yang disusun oleh Melinda Janki, menunjukkan bahwa Act of Free Choice 1969 tidak memenuhi standar hukum internasional, karena bertentangan dengan Resolusi 1541 (XV) yang mensyaratkan pemungutan suara bebas dan universal. Proses pemilihan yang hanya melibatkan 1026 orang dari ratusan ribu rakyat Papua adalah pelanggaran prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Dengan demikian, Papua memiliki dasar hukum yang kuat untuk menuntut penentuan nasib sendiri, dan ULMWP adalah lembaga yang memperjuangkan mandat hukum tersebut secara resmi dan diplomatis.

Di tingkat akar rumput, ULMWP membawa bukti paling kokoh dari kehendak bangsa Papua: Petisi Rakyat Papua berisi 1,8 juta tanda tangan, yang diserahkan kepada Dewan HAM PBB. Meskipun rezim Indonesia berusaha membungkam dan menghentikan proses pengumpulan tanda tangan, fakta bahwa mayoritas orang Papua memberikan dukungan menunjukkan bahwa ULMWP bukan sekadar organisasi, tetapi cermin aspirasi nasional. Ini membuktikan bahwa perjuangan ULMWP bukanlah proyek elite, melainkan suara bangsa.


Kepemimpinan Kolektif dan Nilai Melanesia

Dari sudut moral dan adat, dukungan terhadap ULMWP berarti menolak berhala politik dan budaya pemujaan pemimpin. ULMWP bekerja dengan struktur kolektif, bukan memusatkan kekuasaan pada satu figur yang dipuja-puja. Kepemimpinan mereka bersifat representatif, bertumpu pada nilai Melanesia: mufakat, solidaritas, dan kesetaraan. Dengan demikian, mendukung ULMWP berarti meneguhkan jati diri kita sebagai bangsa yang tidak tunduk pada raja kecil atau kultus individu, tetapi pada hukum moral kolektif yang lebih tinggi: keselamatan bangsa.

Papua tidak boleh meniru bangsa yang mendewakan pemimpinnya hingga mengorbankan kebenaran. Sejarah Indonesia sejak merdeka menjadi pelajaran pahit tentang bahaya pemujaan buta terhadap figur politik. Dalam kurun 80 tahun sejak 1945, berbagai peristiwa menunjukkan bagaimana kekuasaan yang tidak diawasi rakyat bisa menimbulkan tragedi kemanusiaan. Dari pembantaian terhadap orang-orang komunis pada 1965–1966, yang diperkirakan menewaskan antara 500.000 hingga 1 juta orang, hingga konflik-konflik bersenjata di Aceh, Maluku, Timor Timur, dan Papua, kita melihat pola yang sama: kekerasan massal yang dilakukan oleh aparat negara atau kelompok reaksioner kerap berakhir tanpa pertanggungjawaban.

Para pelaku kekerasan, termasuk yang terlibat dalam pembunuhan massal atau pelanggaran hak asasi manusia, sering kali justru mendapatkan penghargaan, jabatan tinggi, atau status pahlawan nasional. Sistem ini menciptakan budaya impunitas di mana kriminal perang bisa naik pangkat, sementara korban dan keluarga mereka tetap menanggung luka generasi. Nilai-nilai moral digeser demi legitimasi politik, dan sejarah ditulis sedemikian rupa sehingga pelaku kejahatan kemanusiaan dipuja, sementara kebenaran dikubur.


Pemujaan Pemimpin: Jalan Menuju Tragedi

Pelajaran untuk Papua jelas: ketika rakyat menyerahkan seluruh pengawasan dan penilaian kepada penguasa, ketika kritik dibungkam dan pujian menjadi wajib, risiko pengulangan tragedi yang sama sangat tinggi. Papua harus menegaskan bahwa kebenaran, keadilan, dan kesadaran kolektif rakyat lebih penting daripada kultus individu. Bangsa yang memuja pemimpin tapi mengorbankan prinsip, martabat, dan kehidupan rakyatnya sendiri, tidak akan pernah merdeka secara hakiki.

Pemujaan hanya melahirkan kegelapan politik, manipulasi, dan perpecahan. Tetapi kesadaran bangsa melahirkan kekuatan, persatuan, dan pembebasan. Maka mendukung ULMWP adalah tindakan sadar, tindakan politis yang terhormat, tindakan yang memutus mata rantai pemujaan dan mengembalikan perjuangan pada rakyat.

Bangsa Papua harus bergerak bersama ULMWP karena organisasi ini bukan hanya membawa nama Papua ke dunia internasional, tetapi juga menjaga marwah perjuangan agar tetap bermartabat dan tidak terjebak dalam kekerasan atau kooptasi. ULMWP adalah wadah politik yang mencerminkan identitas kita sebagai bangsa Melanesia, bangsa adat, bangsa yang berjuang bukan untuk balas dendam, tetapi untuk martabat dan masa depan yang damai.


Rakyat Papua yang Membawa Takdir

Kini saatnya bangsa Papua berdiri sebagai pembawa takdirnya sendiri. Tidak ada pemimpin yang patut dipuja; yang ada hanyalah rakyat yang harus sadar. Dan kesadaran itulah yang dituangkan secara terhormat ke dalam dukungan terhadap ULMWP — sebagai kendaraan politik tunggal yang sah, bermartabat, dan sesuai prinsip hukum internasional. 

Papua akan merdeka bukan karena diagungkannya satu figur, tetapi karena seluruh bangsanya memilih jalan yang benar: jalan kesadaran, jalan persatuan, jalan diplomasi, dan jalan yang menghormati martabat sebagai bangsa. Papua tidak membutuhkan berhala politik; yang dibutuhkan adalah kebangkitan kolektif. Kebangkitan itu bernama ULMWP — honai perjuangan yang membawa terang bagi seluruh bangsa. Papua harus melek politik.



*) Tulisan ini terinspirasi dari buku 'West Papua Kembali ke Pangkuan Melanesia' karya Markus Haluk. Untuk pemesanan, silakan menghubungi:

Markus Haluk 

Phone: +62 852 4444 250

Email: hmarkushaluk@yahoo.com

Comments