Pena Lebih Dahsyat daripada Bom Atom
Pena Lebih Dahsyat daripada Bom Atom
Perjuangan Papua tak hanya lewat senjata, tapi lewat pena dan kata. Tulisan dan suara rakyat menentang penindasan lebih dahsyat dari bom atom.
Sejarah manusia sering mengagungkan kekuatan senjata, ledakan, dan peperangan. Namun, di balik gemuruh pertempuran fisik, banyak peristiwa besar justru digerakkan oleh kata-kata. Tulisan memiliki kekuatan untuk mengguncang tatanan yang tampak kokoh, membongkar kebohongan, dan membangkitkan kesadaran kolektif. Di Papua, tanah yang kaya budaya, identitas, dan sumber daya, kata-kata menjadi senjata yang paling ampuh—pena lebih dahsyat daripada bom atom.
Sejak abad lampau, karya tulis telah mengubah dunia. Thomas Paine dengan Common Sense mengobarkan revolusi Amerika, menggerakkan rakyat menuntut kebebasan. Harriet Beecher Stowe melalui Uncle Tom’s Cabin menyalakan api anti-perbudakan yang membekas dalam sejarah Amerika. Voltaire dan Rousseau menginspirasi Revolusi Prancis dengan gagasan kebebasan, kesetaraan, dan kritik terhadap tirani. Emile Zola dengan suratnya 'J’accuse…!' mengguncang institusi Prancis, menegakkan keadilan, dan menantang korupsi sistemik.
Di Indonesia, contoh paling nyata adalah Pramoedya Ananta Toer. Novel-novelnya, terutama Bumi Manusia, memotret kolonialisme Belanda, ketidakadilan sosial, dan penindasan secara jujur. Karya-karya itu dibaca jutaan orang di luar negeri, tetapi di bawah Orde Baru, buku-bukunya dilarang. Pramoedya keluar masuk penjara bukan karena ia menembakkan senjata, tetapi karena ia menulis. Rezim takut pada kata-katanya, takut rakyatnya sadar, takut ide menular.
Tirani selalu takut pada penulis. Tulisan mengabadikan kebenaran ketika kekerasan hanya menghapus tubuh. Tulisan menebarkan kesadaran ketika propaganda berusaha membungkam. Kata-kata menanam benih perlawanan damai yang sulit dihapus, bahkan oleh rezim yang paling represif. Pena bisa menembus waktu dan ruang, menembus dinding penindasan, dan menyebarkan kebenaran lebih dahsyat daripada bom apa pun yang menghancurkan kota.
Di Papua, marginalisasi, penindasan, dan stigmatisasi telah berlangsung selama puluhan tahun. Namun menulis tentang Papua adalah perlawanan. Menulis tentang budaya, sejarah, atau pelanggaran HAM bukan sekadar mencatat fakta, melainkan menggugat narasi dominan, menegaskan identitas yang terpinggirkan, dan menuntut keadilan. Setiap artikel, buku, atau esai adalah ledakan damai yang membuka mata dunia, membangkitkan solidaritas internasional, dan menyadarkan generasi muda akan hak-hak mereka.
Tulisan juga melestarikan budaya. Bahasa, ritual, adat, dan kearifan lokal Papua direkam dalam kata-kata sehingga tidak mudah hilang di tengah arus globalisasi. Pena membangun benteng intelektual yang melindungi akar identitas, bahkan ketika senjata fisik gagal atau mencoba meredamnya. Menulis adalah perlawanan damai, tindakan heroik yang menegakkan keadilan tanpa menumpahkan darah, tetapi mampu mengguncang hati dan pikiran manusia di seluruh dunia.
Sejarah membuktikan bahwa pena lebih dahsyat daripada bom atom. Dari revolusi Amerika hingga karya Pramoedya Ananta Toer, kata-kata memiliki kekuatan untuk mengguncang tirani, membangkitkan kesadaran, dan mengubah jalannya sejarah. Untuk Papua, menulis bukan sekadar aktivitas akademis atau jurnalistik. Menulis adalah senjata, alat advokasi, dan tindakan heroik. Pena mampu membongkar kebohongan, mengangkat suara yang tertindas, melestarikan budaya, dan menginspirasi generasi baru. Dalam dunia yang sering memuja kekerasan, pena tetap menjadi senjata paling dahsyat, senjata yang mampu mengubah dunia secara damai namun revolusioner.


Comments
Post a Comment