Satyagraha Papua: Membangun Kekuatan Baru untuk Mengubah Sejarah
Satyagraha Papua: Membangun Kekuatan Baru untuk Mengubah Sejarah
Perjuangan non-kekerasan Papua bukan sekadar aksi damai; ia juga menuntut kekuatan politik, organisasi rakyat, dan solidaritas global agar kebenaran Papua diperhitungkan di tingkat internasional.
Bagi banyak Orang Papua, keyakinan bahwa perjuangan tanpa kekerasan semata dapat membawa kemerdekaan terasa kian menipis seiring pengalaman panjang dengan kekerasan negara.
Selama lebih dari enam dekade, setiap kali rakyat Papua bangkit dengan suara damai, suara itu dipatahkan bahkan sebelum sempat menjadi gema. Demonstrasi dibubarkan, aktivis ditangkap, media dibungkam, dan ruang sipil dikunci rapat.
Risiko Tinggi Perjuangan Damai di Tanah Papua
Tokoh-tokoh pergerakan non-kekerasan seperti Filep Karma, yang memperjuangkan hak rakyat Papua melalui aksi damai dan simbolik, Theys Eluay, yang menjadi suara diplomasi dan advokasi damai rakyat Papua hingga dibunuh, dan Thom Beanal, yang memimpin perjuangan politik dan sosial berbasis masyarakat adat, menghadapi represi yang sama. Mereka menunjukkan bahwa jalan damai di Papua selalu berisiko tinggi.
Realitas ini menciptakan luka historis kolektif yang membuat strategi non-kekerasan dianggap rapuh di hadapan aparatus negara yang seolah kebal terhadap kritik moral. Dalam situasi seperti itu, gagasan untuk mengandalkan jalan damai saja tampak seperti meminta bunga tumbuh di atas batu panas.
Ketika Prasyarat Non-Kekerasan Tidak Terpenuhi
Teori non-kekerasan Mahatma Gandhi tentang satyagraha berangkat dari keyakinan bahwa kekuatan moral—kekuatan kebenaran—dapat menundukkan kekuasaan yang bersandar pada senjata.
Namun satyagraha tidak bekerja dalam ruang hampa; ia mensyaratkan keberadaan ruang publik yang relatif terbuka, negara yang masih peduli pada legitimasi moral, serta masyarakat internasional yang bersedia memperhatikan.
Gandhi menghadapi kekaisaran Inggris yang represif, tetapi tetap terikat pada sistem hukum, pemantauan global, pers yang relatif bebas, dan kesadaran etis di dalam negeri. Papua menghadapi kenyataan yang kontras dengan Negara Indonesia.
Ruang publik dibatasi, aksi damai dicurigai sebagai ancaman, media independen dibungkam, dan tekanan internasional sering kali melemah oleh kekuatan diplomasi dan ekonomi. Karena prasyarat-prasyarat dasar satyagraha tidak terpenuhi, banyak orang Papua menilai bahwa strategi Gandhi menjadi berat digunakan dalam medan politik Papua yang tertutup dan sepihak.
Aksi Damai yang Lumpuh Sebelum Menjadi Kekuatan
Dalam teori Gandhi, aksi damai bukan sekadar unjuk rasa sesaat, tetapi sebuah proyek politik yang membentuk rakyat menjadi komunitas yang terdidik, terorganisir, dan disiplin.
Di India, satyagraha tumbuh melalui jaringan yang luas, pers yang aktif, lembaga pendidikan, serta solidaritas global yang memperhatikan perkembangan kolonialisme. Di Papua, hampir semua unsur pendukung itu tidak diberi kesempatan berkembang.
Ketika sebuah organisasi seperti KNPB (Komite Nasional Papua Barat) mencoba mengadvokasi hak menentukan nasib sendiri secara damai, organisasi tersebut langsung dicap separatis, bahkan dituduh melakukan makar secara absurd.
Ketika mahasiswa turun ke jalan, mereka dibubarkan sebelum sempat menarik simpati publik. Ketika gereja bersuara, mereka dituduh ikut campur urusan politik. Setiap bibit satyagraha dipatahkan sebelum sempat tumbuh. Akibatnya, banyak rakyat Papua memandang bahwa jalan damai menemui kebuntuan bukan karena kegagalan moral, melainkan karena ketiadaan ruang politik.
Evaluasi Ulang sebagai Tanda Kedewasaan Politik
Keraguan Orang Papua terhadap perjuangan non-kekerasan bukanlah penolakan terhadap perdamaian; mereka menghadapi politik yang tidak simetris, di mana aparat negara sangat represif dan kerap kebal hukum. Dalam ketimpangan seperti itu, perjuangan damai yang tidak terorganisir sering kehilangan daya tawarnya.
Di sini diperlukan evaluasi ulang yang dewasa, dengan keberanian mengajukan pertanyaan-pertanyaan sulit:
Apakah strategi damai selama ini dijalankan dengan kedalaman dan keseriusan sebagaimana dirumuskan Gandhi?
Apakah ada konsolidasi nasional yang kuat, pendidikan politik yang merata, dan jaringan internasional yang aktif?
Ataukah perjuangan damai berjalan secara sporadis, emosional, dan tidak memiliki pusat strategi yang solid?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini mengajak kita memperkuat fondasi, sehingga jalan damai tidak menjadi ritual kelemahan, melainkan kekuatan yang diperhitungkan.
Membangun Kekuatan Damai di Tengah Represi
Gandhi tidak pernah mengandalkan moralitas semata tanpa kekuatan; ia memahami bahwa kebenaran hanya menjadi kekuatan politik ketika didukung organisasi, disiplin, dan keberanian kolektif.
Jika Papua masih ingin memperhitungkan perjuangan damai, kekuatan itu harus dibangun: kekuatan moral yang tak mudah dipatahkan, kekuatan rakyat yang terdidik dan terorganisir, kekuatan jaringan internasional yang tidak sekadar bersimpati tetapi juga membela, serta kekuatan politik internal yang utuh dan tidak terpecah.
Jalan damai di Papua membutuhkan transformasi agar tidak lagi dipahami hanya sebagai penolakan terhadap kekerasan, tetapi sebagai strategi yang terencana, solid, dan tahan banting, sehingga perjuangan damai itu memiliki peluang nyata untuk mengubah sejarah.
Rekomendasi bagi Organisasi Pergerakan Papua dalam Bingkai Persatuan ULMWP
Semua organisasi pergerakan Papua yang masih percaya pada perjuangan damai perlu menegaskan pentingnya persatuan strategis di bawah payung United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Persatuan ini bukan sekadar simbol politik, tetapi fondasi praktis untuk memperkuat legitimasi, memusatkan advokasi, dan memperluas dampak perjuangan damai. Beberapa langkah penting yang dapat ditempuh antara lain:
1. Konsolidasi Organisasi di Tingkat Nasional
ULMWP harus menjadi payung koordinasi yang inklusif, di mana semua organisasi damai dapat menyatukan suara dan strategi, menghindari fragmentasi yang melemahkan daya tawar rakyat Papua.
2. Penajaman Strategi Perjuangan Damai Bersama
Persatuan di bawah ULMWP memungkinkan penyusunan strategi perjuangan damai yang lebih terencana dan terukur, sehingga setiap aksi memiliki kekuatan moral dan politis yang diperhitungkan.
3. Peningkatan Pendidikan Politik dan Kesadaran Kolektif
ULMWP dapat memfasilitasi program pendidikan politik dan advokasi non-kekerasan, memastikan masyarakat Papua memahami tujuan bersama, metode damai, dan prinsip kebenaran yang menjadi landasan perjuangan.
4. Penguatan Jaringan Internasional Terpadu
Dengan persatuan, ULMWP menjadi wajah tunggal perjuangan Papua di dunia internasional, mempermudah diplomasi, membangun solidaritas global, dan memperkuat legitimasi moral rakyat Papua.
5. Evaluasi Strategi Bersama Secara Berkala
Persatuan di bawah payung ULMWP harus membuka ruang evaluasi bersama, menyesuaikan strategi damai dengan perkembangan politik dan sosial, serta memastikan perjuangan tetap relevan dan efektif.
6. Menegakkan Etika Damai dan Martabat Rakyat
ULMWP harus menegaskan bahwa persatuan perjuangan damai selalu berlandaskan etika, prinsip moral, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, sehingga aspirasi Papua tetap bermartabat dan diperhitungkan.
Wim Anemeke


Comments
Post a Comment