Suharto Pahlawan Nasional: Gereja Dipanggil Bicara Kebenaran
Suharto Pahlawan Nasional: Gereja Dipanggil Bicara Kebenaran
Menagih Gereja bersuara atas sejarah kelam Orde Baru, mengakui kesalahan, dan berpihak pada Papua demi keadilan, kebenaran, dan kesetiaan pada Injil.
Penobatan Suharto sebagai pahlawan nasional menegaskan lemahnya moral bangsa ini dalam menghadapi masa lalunya sendiri.
Narasi glorifikasi Orde Baru tidak hanya menghapus serangkaian tragedi kemanusiaan di Indonesia—khususnya di Papua—tetapi juga mengancam kapasitas kita sebagai umat Tuhan untuk bersaksi akan kebenaran.
Memori yang Diputarbalik, Luka yang Tak Pernah Sembuh
Gereja seharusnya menjadi suara pertama yang menentang upaya pemutarbalikkan kebenaran. Sayangnya, suara itu tidak selalu hadir ketika martabat manusia dipertaruhkan. Sejarah menunjukkan bahwa Rezim Orde Baru dibangun di atas pembantaian 1965–1966 serta tindakan represif di Timor Timur, Aceh, dan Papua.
Bagi banyak saudara-saudari kita di Bumi Cenderawasih, pengalaman ini bukan sekadar kenangan, melainkan realitas yang terus dirasakan: operasi militer berulang, tanah adat terampas, budaya dilemahkan, dan hak hidup terancam—menimpa ratusan ribu orang yang tak bersalah.
Sebagai seorang Kristiani, saya memandang persoalan ini bukan sekadar isu politik, melainkan juga ujian iman dan integritas Gereja di Indonesia.
Seruan Seorang Katolik kepada KWI untuk Keadilan
Karena saya seorang Katolik, seruan saya ditujukan secara khusus kepada Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Pesan kritis ini bukan dimaksudkan untuk menjatuhkan, melainkan untuk memanggil Gereja kembali kepada keberanian moral yang diajarkan oleh Injil.
Selama ini, KWI sering terdengar lebih seperti lembaga yang berhati-hati menjaga hubungan institusional dengan penguasa, daripada sebagai gembala yang teguh membela umat yang tertindas. Sementara itu, Gereja Katolik di Papua—yang berhadapan langsung dengan operasi keamanan, diskriminasi, dan penghancuran ruang hidup Orang Asli Papua—sering merasa dibiarkan berjalan sendirian.
Sebagai anggota Gereja yang satu dan universal, saya memohon agar:
- KWI meninggalkan peran protokoler dan mengambil peran sebagai suara kenabian.
- Sidang Agung Gereja Katolik di Indonesia (SAGKI) tidak berhenti pada pembicaraan tentang HAM tanpa disertai pertobatan institusional.
Lebih dari Sekadar Prinsip: Pengakuan Dosa Gereja
Topik HAM dalam Siraman Rohani Gerejawi SAGKI 2025 memang penting, tetapi tidak cukup. Gereja tidak dipanggil sekadar mengulang prinsip moral; Gereja dipanggil untuk mengakui kesalahannya sendiri, termasuk pada masa-masa ketika Gereja terlalu banyak diam.
Contoh paling nyata adalah pembantaian Santa Cruz di Dili, yang terdokumentasi dengan jelas. Hingga hari ini, tidak ada seorang pun uskup Indonesia yang berani mengecamnya secara terbuka sebagai kejahatan luar biasa. Pendudukan Indonesia di Timor Timur (1975–1999) jelas melanggar hukum internasional dan bertentangan dengan prinsip “100% Katolik, 100% Indonesia”. UUD 1945 sendiri menegaskan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan bahwa penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi.
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, yang “menggabungkan” Papua ke dalam NKRI, cacat secara hukum dan moral. Prinsip one man, one vote tidak diterapkan, sehingga prosesnya bertentangan dengan norma internasional dan rakyat Papua tidak dapat mengekspresikan pilihan mereka secara bebas.
Hanya 1.025 orang Papua yang dilibatkan, dan banyak dari mereka dipilih secara terbatas oleh militer Indonesia, sehingga suara mereka sama sekali tidak mencerminkan kehendak rakyat Papua. Yang paling memalukan, Pepera yang berlangsung di bawah tekanan militer ini justru memperoleh legitimasi dari sebagian pihak Gereja yang seharusnya menjadi pelindung hak-hak rakyat Papua.
Sikap apatis Gereja menambah dimensi dosa moral dari peristiwa ini. Meskipun Pepera secara formal disahkan oleh PBB, kita menyadari adanya kecurangan dalam prosesnya. Dari lubuk hati kita sendiri, kita mengakui bahwa prosedur tersebut tidak adil, dan kita semua menanggung beban atas penderitaan rakyat Papua, yang dikriminalisasi hanya karena memperjuangkan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri, hak yang telah direnggut secara paksa.
Pertanyaannya:
Mengapa para uskup Indonesia tidak berani mengutuk rekayasa politik ini secara tegas dan mengakui kesalahan diam Gereja?
Gereja—termasuk saya sendiri—tidak boleh lagi beralasan untuk bungkam terhadap ketidakadilan ini dengan dalih tidak ikut campur urusan politik.
Diam Bukan Pilihan: Tanggung Jawab Moral Gereja
“Kebenaran akan memerdekakan kamu”
(Yohanes 8:32).
Saya merasa sudah tiba saatnya KWI berani melakukan mea culpa atas keterlibatan Gereja pada era Suharto.
Sebagai umat Katolik, saya merasa terluka membaca sejarah yang menunjukkan bahwa Gereja sering memilih diam, atau bahkan ikut memberikan legitimasi pada rezim yang menumpahkan darah ratusan ribu manusia—termasuk saudara-saudari seiman kita, khususnya di Timor Timur dan Papua.
Diam ketika pembantaian terjadi adalah dosa besar.
Diam ketika ketidakadilan berlangsung adalah pengkhianatan terhadap Injil.
Dan diam demi menjaga kenyamanan institusi adalah kemunafikan moral.
KWI, sebagai wajah resmi Gereja Katolik di Indonesia, tidak lagi bisa menutup mata terhadap aibnya sendiri. Mengakui kesalahan dan menyesal secara publik bukanlah tanda kelemahan—justru itu bukti iman yang berani dan kuat.
Ironisnya, di era digital ini, banyak channel katolik yang membahas ritus, doktrin, dan keselamatan di akhirat, sementara pembahasan tentang tindakan nyata Gereja di tengah ketidakadilan dan penderitaan sesama nyaris tak terdengar. Pertobatan tanpa tindakan konkret hanyalah kata-kata; iman yang hidup menuntut keteguhan untuk bertindak.
Doa dan Harapan Seorang Katolik: Gereja yang Berdiri di Atas Kebenaran Injil
Sebagai bagian dari Gereja Katolik, meski umat awam, saya menulis dengan kasih, bukan kebencian. Saya menulis dengan kerinduan agar Gereja saya—Gereja kita—tidak kehilangan keberanian yang diwariskan para rasul dan para martir.
Doa saya sederhana:
- Semoga KWI kembali setia pada idealisme Injili, bukan pada kompromi diplomatis.
- Semoga para uskup mengangkat suara lantang demi martabat manusia, bukan demi kenyamanan institusi.
- Semoga Gereja di Indonesia berani berkata jujur: “Kami pernah gagal. Kini kami bangkit untuk berdiri bersama yang tertindas.”
Menjadi Gereja yang berjalan bersama Papua
Setiap ingatan dan kesaksian menuntut perhatian kita, bukan hanya sebagai bangsa, tetapi juga sebagai umat beriman. Sebagai Katolik, saya percaya bahwa Gereja hanya akan menjadi garam dan terang sejati bagi bangsa ini jika berani menatap luka masa lalu dengan jujur, mengakui kesalahan yang telah terjadi, dan berpihak pada mereka yang selama ini tersakiti.
Dalam konteks Papua saat ini, menjadi Gereja yang berjalan bersama Papua berarti mendengarkan tanpa menutup mata, hadir tanpa dominasi, dan bertindak tanpa pamrih. Ini adalah panggilan untuk pertobatan sejati, yang bukan sekadar kata, tetapi diwujudkan melalui keadilan, kasih, dan solidaritas. Hanya dengan kegigihan menghadapi kebenaran, Gereja dapat menjadi rumah bagi semua, terutama bagi mereka yang tersingkir oleh arus sejarah.
Menjadi Gereja yang berjalan bersama Papua bukanlah pilihan, melainkan panggilan suci.
Wim Anemeke


Comments
Post a Comment