Timor Timur dan Papua Barat: Pelajaran Solidaritas Global untuk Perjuangan Kemerdekaan

Timor Timur dan Papua Barat: Pelajaran Solidaritas Global untuk Perjuangan Kemerdekaan

Paralelisme Timor Timur dan Papua Barat menunjukkan bagaimana klaim sepihak, represi militer, dan kriminalisasi pejuang tak mampu menghapus aspirasi rakyat untuk merdeka, sementara persatuan nasional dan solidaritas global menjadi kunci perubahan.


Pendahuluan 

Sejarah menunjukkan bahwa perjuangan rakyat yang menuntut kemerdekaan sering kali dihadapkan pada pola kekuasaan yang represif, naratif sepihak, dan kriminalisasi pejuang. Di Asia Tenggara, dua contoh yang menonjol adalah Timor Timur dan Papua Barat. Meskipun konteks geografis dan sejarahnya berbeda, terdapat kesamaan yang mencolok dalam cara negara Indonesia membangun klaim atas kedua wilayah ini serta menekan aspirasi rakyat melalui kekerasan, intimidasi, dan pembingkaian naratif yang memfitnah perlawanan.


Invasi dan Klaim Sepihak: Dari Timor Timur ke Papua Barat

Dalam invasi Indonesia ke Timor Timur pada 7 Desember 1975, kekerasan terhadap warga sipil berlangsung secara luas, terutama pada hari-hari pertama pendudukan Dili. Uskup Dili saat itu, José Joaquim Ribeiro, seorang misionaris Portugis, menyaksikan langsung eksekusi dan penembakan terhadap warga sipil yang dituduh sebagai pendukung Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente (FRETILIN). Ia melaporkan bahwa pasukan Indonesia menembak siapa saja yang mereka curigai, sering tanpa proses apa pun.

Kesaksian lain datang dari Martinho da Costa Lopes, Administrator Apostolik yang menggantikan Ribeiro setelah 1977. Ia menegaskan bahwa pada hari-hari awal invasi, tentara Indonesia memang menarget warga sipil dan melakukan penembakan massal di Dili, termasuk terhadap orang-orang yang tidak terlibat politik. Suara para pemimpin Gereja ini menjadi bukti penting bahwa operasi militer Indonesia disertai kekerasan sistematis, eksekusi sewenang-wenang, dan represi meluas terhadap rakyat Timor Timur.

Namun, pada saat yang sama, pemerintah Indonesia merumuskan sebuah narasi legal-politik yang menonjolkan jargon stabilitas, pembangunan, dan perang melawan komunisme, sembari menafikan legitimasi aspirasi kemerdekaan rakyat Timor Timur. Resolusi-resolusi Majelis Umum PBB yang menegaskan hak penentuan nasib sendiri diabaikan, dan pejuang kemerdekaan dicitrakan sebagai ancaman keamanan, agen asing, atau komunis berbahaya. Narasi ini tidak hanya menghilangkan legitimasi perjuangan rakyat Timor Timur, tetapi juga membentuk pandangan internasional yang ambigu terhadap konflik tersebut.

Paralelisme dengan Papua Barat menjadi nyata ketika meninjau sejarah integrasi wilayah ini melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Proses ini berlangsung setelah Indonesia melancarkan Operasi Trikora pada 1961–1962, yang menandai eskalasi militer besar-besaran untuk menegaskan klaim atas 'Irian Barat'. Operasi ini melibatkan pengerahan pasukan secara masif, pembangunan infrastruktur militer, dan tekanan terhadap masyarakat lokal sebagai persiapan politik untuk integrasi. Pepera sendiri, meskipun diklaim sebagai referendum demokratis, hanya melibatkan sekitar 1.025 wakil yang dipilih, bukan pemungutan suara langsung, dan berlangsung di bawah pengawasan militer ketat. Kebebasan dasar seperti berbicara, bergerak, dan berkumpul sangat terbatas, sementara staf PBB menghadapi tekanan politik dan kendala logistik, sehingga proses ini sulit mencerminkan aspirasi rakyat Papua secara utuh.

Dr. Fernando Ortiz Sanz, perwakilan PBB dalam misi pengawasan Pepera, mencatat bahwa kebebasan dasar seperti berbicara, bergerak, dan berkumpul dibatasi, dan staf PBB menghadapi tekanan politik serta kendala logistik yang signifikan. Ia menekankan bahwa struktur pemilihan dan pengawasan yang diterapkan membuat proses Pepera sulit mencerminkan aspirasi rakyat Papua secara penuh. Kesaksian ini menjadi bukti bahwa klaim Indonesia mengenai demokratisnya Pepera harus dilihat dalam konteks kontrol militer yang dominan dan keterbatasan praktik demokrasi yang sesungguhnya.

Akan tetapi, Indonesia kembali menegaskan klaim permanen atas Papua Barat melalui narasi konstitusional dan politik, yang menekankan integrasi sebagai satu-satunya jalan menuju pembangunan dan persatuan. Sama seperti di Timor Timur, klaim sepihak ini dibangun melalui kontrol birokrasi, penguatan aparat keamanan, dan narasi nasionalis yang menutup ruang diskusi mengenai referendum baru atau aspirasi kemerdekaan. 


Represi Militer dan Kekerasan Sistematis

Ironisnya, meskipun propaganda rezim Indonesia sering menegaskan dukungan rakyat terhadap integrasi, kenyataannya di lapangan menunjukkan bahwa dukungan mayoritas rakyat Timor Timur dan Papua Barat terhadap integrasi jauh lebih kompleks dan seringkali tidak mencerminkan kehendak asli mereka.

Pendekatan represif di kedua wilayah juga menunjukkan kesamaan pola. Di Timor Timur, operasi militer mencakup tindakan kekerasan sistematis terhadap penduduk sipil, penahanan massal, penyiksaan, dan penghilangan, dengan pengerahan personel militer secara masif, mulai dari pasukan reguler hingga korps elit.

Di Papua Barat, operasi militer dan keamanan menargetkan kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan masyarakat yang menyuarakan hak penentuan nasib sendiri. Demonstrasi damai sering berakhir dengan penembakan, pembakaran kampung, atau penangkapan sewenang-wenang. Di kedua kasus, kekerasan tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga diikuti pembatasan pers, sensor informasi, dan pembingkaian media sehingga narasi resmi negara mendominasi.


Klaim Wilayah, Diskreditasi, dan Kontrol Narasi 

Salah satu aspek paling mencolok dari paralelisme ini adalah cara pejuang kemerdekaan dikriminalisasi dan diabolisasi. Pemimpin FRETILIN di Timor Timur dilabeli sebagai komunis atau agen asing, sementara anggota OPM dan aktivis Papua Barat sering disebut separatis atau bahkan teroris. 

Ironisnya, tindakan perjuangan bersenjata, termasuk penyanderaan sipil, yang serupa di konteks internasional—misalnya oleh Hamas dalam perjuangannya untuk kemerdekaan Palestina—sering kali tidak menerima stigmatisasi yang sama, bahkan kadang diakui sebagai perlawanan sah terhadap pendudukan Israel. Perbedaan perlakuan ini menegaskan adanya standar ganda yang tajam dalam pengakuan dan legitimasi perjuangan kemerdekaan, yang sangat bergantung pada kepentingan politik negara-negara besar serta wacana yang mendominasi arena internasional.

Rezim Jakarta membangun narasi yang memposisikan baik FRETILIN maupun OPM sebagai ancaman moral, politik, dan keamanan, sehingga legitimasi perjuangan mereka dipinggirkan atau bahkan dihapus dari sejarah resmi. Contoh nyata di Timor Timur adalah tokoh-tokoh seperti José Ramos Horta dan Xanana Gusmão, sementara di Papua Barat terlihat pada kasus tokoh-tokoh seperti Filep Karma dan Victor Yeimo, yang menghadapi penahanan, tuduhan kriminal, serta pencitraan negatif di media, meski dalam banyak aspek bersifat murni politis dan damai.

Kedua kasus ini menunjukkan pola struktural yang sama: negara menegakkan klaim sepihak atas wilayah, menggunakan kekerasan represif untuk menekan aspirasi lokal, dan membangun narasi yang meniadakan legitimasi perjuangan rakyat. Secara paradoks, narasi sejarah Indonesia sendiri sering menekankan kelicikan Belanda yang menjajah Nusantara selama lebih dari tiga setengah abad, serta menyoroti kekejaman militer pendudukan Jepang selama Perang Pasifik—sementara strategi penegakan klaim sepihak dan represi terhadap rakyat Timor Timur maupun Papua Barat nyaris meniru metode kolonial yang sama. Perbedaan konteks tidak mengubah pola strategi yang digunakan, sehingga narasi anti-kolonial yang ditekankan negara bertentangan dengan praktik nyata di lapangan.


Pelajaran dari Timor Timur: Solidaritas Global dan Jalan Menuju Kemerdekaan

Namun demikian, sejarah Timor Timur menunjukkan bahwa tekanan dan solidaritas global dapat menjadi kekuatan yang mengubah arah perjuangan, membuka jalan bagi kemerdekaan meskipun menghadapi tekanan represif yang dahsyat. 

Invasi Indonesia memicu kecaman dunia, dan tragedi penembakan massal Santa Cruz pada 12 November 1991, ketika ratusan demonstran damai dibunuh oleh militer di Dili dan peristiwa tersebut diliput secara luas oleh media internasional, semakin memicu sorotan global terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Diplomasi efektif oleh tokoh seperti José Ramos Horta, didukung oleh konsistensi dukungan rakyat, memungkinkan penyelenggaraan referendum yang sah di bawah supervisi PBB, yang akhirnya menghasilkan kemerdekaan Timor Leste. 

Papua Barat, di sisi lain, menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks: isu ini kurang mendapat sorotan internasional, kontrol politik dan militer sangat ketat, serta narasi resmi Indonesia menegaskan integrasi sebagai klaim permanen. Meskipun demikian, jalur Papua Barat untuk “menyusul” Timor Timur tetap ada melalui penguatan perlawanan damai, advokasi internasional, dan penggunaan prinsip hukum internasional mengenai hak penentuan nasib sendiri. 


Penutup

Sejarah paralel ini menegaskan bahwa aspirasi kolektif sebuah bangsa tidak pernah dapat dihapus oleh kekuasaan yang represif. Narasi dan tindakan negara yang sepihak, betapa pun kuatnya, pada akhirnya selalu berhadapan dengan kehendak rakyat untuk menentukan jalan hidup mereka sendiri. Karena itu, klaim bahwa status Papua Barat dalam bingkai NKRI sudah final tidak lebih dari konstruksi ideologi yang rapuh—mudah dipatahkan bila terdapat kemauan politik yang jujur, tekanan internasional yang konsisten, serta pengakuan terhadap hak dasar rakyat Papua sebagai subjek sejarah. Dalam konteks ini, solidaritas global dan keberanian politik dari masyarakat Papua sendiri dapat menjadi kunci untuk mengubah dinamika yang selama puluhan tahun dibekukan oleh kekerasan dan kontrol narasi negara.

Masa depan Papua Barat menuntut imajinasi politik yang lebih berani: sebuah visi yang tidak lagi bergantung pada pendekatan militer dan pembungkaman, tetapi membuka ruang bagi mekanisme penentuan nasib sendiri yang sah, damai, dan diawasi komunitas internasional—sebagaimana pernah berhasil di Timor Timur. Referendum bukanlah ancaman, melainkan instrumen demokratis untuk menguji kembali apakah integrasi masih memiliki legitimasi moral di mata rakyat. Untuk menuju tahap itu, diperlukan langkah transisi: demiliterisasi wilayah, kebebasan berekspresi dan berpolitik, akses tanpa batas bagi media dan lembaga independen, serta dialog inklusif yang menempatkan rakyat Papua sebagai subjek utama. Prinsip bahwa “tidak ada perdamaian yang langgeng tanpa keadilan” harus menjadi fondasi etis bagi setiap upaya penyelesaian, sebab hanya melalui keadilan historis inilah Papua Barat dapat memulihkan martabat kolektifnya dan menentukan masa depannya sendiri.

Pada saat yang sama, jalan penyelesaian damai ini sejatinya juga membuka peluang kehormatan bagi Indonesia. Sebuah bangsa tidak dinilai dari seberapa keras ia mempertahankan wilayah, melainkan dari seberapa berani ia menegakkan keadilan bagi semua manusia yang hidup di dalamnya. Indonesia justru dapat memperoleh martabat moral yang lebih tinggi di mata dunia jika berani menghadapi persoalan Papua dengan pendekatan yang jujur, demokratis, dan sesuai prinsip anti-kolonial yang menjadi fondasi kemerdekaannya sendiri. Dengan membuka ruang dialog, menghormati hak rakyat Papua, dan menunjukkan bahwa kekuatan sejati sebuah negara terletak pada kemanusiaan, bukan pada represi, Indonesia dapat membuktikan bahwa ia bukan pewaris kolonialisme, melainkan bangsa yang mampu memperbaiki sejarahnya melalui keberanian moral.

Comments