ULMWP: Karya Tuhan bagi Bangsa Papua

Sebuah Refleksi Teologis tentang Martabat, Persatuan, dan Demokrasi Melanesia

Bangsa Papua telah menjalani sejarah panjang yang ditandai oleh luka, ketidakadilan, dan upaya sistematis untuk meredam suara mereka. Namun dalam perjalanan itu, lahirlah United Liberation Movement for West Papua (ULMWP)—sebuah gerakan yang tidak sekadar politis, tetapi sangat spiritual. Banyak orang Papua melihat kehadirannya sebagai tanda bahwa Tuhan masih berjalan bersama bangsa ini. Persatuan yang terjadi melalui ULMWP bukan sekadar hasil kalkulasi politik, tetapi gema dari Roh Kudus yang memanggil bangsa Papua kembali menemukan jati dirinya.


Allah yang Mendengar Rintihan Papua

Dalam terang Kitab Suci, Tuhan selalu berpihak pada bangsa-bangsa yang terluka dan terpinggirkan. Ketika Israel tertindas, Tuhan berkata, “Aku telah melihat kesengsaraan umat-Ku… Aku telah mendengar teriak mereka” (Kel. 3:7). Seruan ini kembali hidup dalam realitas Papua—bahwa Allah tidak pernah meninggalkan mereka yang merintih dalam tanah airnya. Karena itu, tidak berlebihan jika banyak umat melihat ULMWP sebagai bagian dari karya Allah untuk memulihkan martabat bangsa Papua.

Dalam perjalanan ULMWP, suara para pemimpin Papua menjadi peneguh bahwa gerakan ini lebih dari sekadar organisasi. Markus Haluk menyebut ULMWP sebagai “honai bersama yang Tuhan bangun untuk menyatukan bangsa Papua.” Baginya, persatuan ini adalah anugerah, bukan sekadar strategi. Octovianus Mote, salah satu pendiri ULMWP, menegaskan bahwa perjuangan Papua berakar pada panggilan moral untuk memulihkan martabat yang dianugerahkan Tuhan. Sementara Thom Beanal, tokoh Amungme dan Wakil Dewan Presidium Papua yang dihormati, mengingatkan: ‘Tuhan memberikan tanah dan martabat ini; menjaga keduanya adalah tugas kita.’”

Ketiga tokoh ini bersuara satu: ULMWP adalah jalan Tuhan untuk mengangkat kembali martabat bangsa Papua.


Kantor ULMWP yang Diberkati Pastor John Djonga

Momen yang sangat simbolis dari wajah spiritual ULMWP terjadi ketika Pastor John Djonga memberkati kantor ULMWP di Jayapura pada 15 Februari 2016. Tindakan pastoral ini bukan deklarasi politik Gereja, melainkan perwujudan iman dan ajaran sosial Gereja Katolik yang selalu berpihak pada martabat manusia dan mereka yang tertindas.

Pastor John Djonga memberkati kantor itu sebagai ruang perjuangan damai—rumah dialog, advokasi, dan diplomasi non-kekerasan. Gereja tidak mendukung konflik; Gereja mendukung martabat manusia. Itulah sebabnya tindakan itu sepenuhnya sejalan dengan ajaran sosial Gereja. Pacem in Terris menegaskan bahwa setiap bangsa berhak “hidup dalam kebebasan dan martabat” (PT, 9). Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes menegaskan: “Setiap bangsa berhak mempertahankan identitas dan warisan budayanya” (GS, 73).

Compendium of the Social Doctrine of the Church juga menggarisbawahi bahwa Gereja harus berada di sisi mereka yang martabatnya dihancurkan oleh struktur dosa. Dengan demikian, berkat Pastor Djonga bukanlah sikap politis, tetapi kesaksian iman yang jujur bahwa perjuangan damai bangsa Papua adalah perjuangan untuk memulihkan martabat yang Allah berikan.


Upaya Diskredit, Pembubaran, dan Intimidasi terhadap Pemimpin ULMWP

Sejak kemunculannya pada 2014, ULMWP tidak pernah jauh dari tekanan. Berkali-kali ada upaya mendiskreditkan gerakan ini: menuduhnya tidak sah, ilegal, destruktif, bahkan mencoba membubarkannya secara paksa. Namun seperti semak yang menyala tanpa hangus (Kel. 3:2), ULMWP tetap kokoh—bertahan bukan karena kekuatan duniawi, tetapi karena roh perjuangannya berakar dalam martabat kemanusiaan yang tak dapat dibungkam.

Para pemimpin dan pengurus ULMWP pun menjadi sasaran intimidasi yang terus-menerus. Ada yang dipanggil aparat berkali-kali, diinterogasi selama berjam-jam, ditahan tanpa alasan yang jelas, dikuntit, dan diteror. Ada yang difitnah di media, ada yang dijadikan target kriminalisasi hanya karena menjalankan advokasi damai. Tekanan-tekanan ini bukan hanya strategi politik; ini adalah upaya untuk mematahkan moral bangsa Papua.

Namun sejarah membuktikan bahwa mereka tetap teguh. Seperti para rasul yang berkata, “Kita harus lebih taat kepada Allah daripada manusia” (Kis. 5:29), para pemimpin ULMWP memilih kesetiaan pada kebenaran meski menanggung risiko besar. Keteguhan ini menjelaskan mengapa ULMWP bukan sekadar organisasi, tetapi gerakan moral dan spiritual yang tidak mudah dihancurkan.


Demokrasi dan Kepemimpinan Kolektif dengan Nilai Melanesia

Salah satu kekuatan ULMWP yang jarang disorot adalah komitmennya pada demokrasi kolektif berbasis nilai Melanesia. Dalam tradisi Melanesia, kepemimpinan tidak dipusatkan pada satu figur, tetapi lahir dari musyawarah, konsensus, dan kebijaksanaan kolektif. Seorang pemimpin dihargai bukan karena jabatan, tetapi karena kemampuan menjaga keharmonisan, menghormati leluhur, dan melindungi komunitas.

Model ini tercermin jelas dalam ULMWP. Struktur kepemimpinannya—yang terdiri dari Presiden, Ketua, Juru Bicara, dan berbagai badan—bukanlah hirarki kaku, melainkan jaringan moral yang saling menopang. Ini adalah demokrasi Melanesia: demokrasi yang dibangun di atas relasi, bukan kompetisi; kebersamaan, bukan ambisi pribadi.

Pendekatan ini membuat ULMWP tahan terhadap upaya pembusukan karakter dan intimidasi. Para pemimpinnya dapat ditahan, diinterogasi, dicemarkan, tetapi gerakannya tidak padam karena berdiri di atas nilai yang lebih tua dari kolonialisme mana pun: amai-aman, persatuan adat, dan spiritualitas komunal Melanesia.

Secara teologis, model ini selaras dengan ajaran Gereja. Gaudium et Spes menyatakan bahwa masyarakat harus “disusun sedemikian rupa sehingga setiap orang dapat berpartisipasi dalam kehidupan bersama” (GS, 31). Dalam Injil, Yesus mengajarkan kepemimpinan sebagai pelayanan: “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu” (Mat. 20:26). Nilai ini bertemu secara harmonis dalam demokrasi Melanesia yang dihidupi ULMWP.

Selain itu, bendera Bintang Kejora, lambang burung mambruk, semboyan One People One Soul, simbol adat Melanesia, dan ornamen-ornamen budaya yang sering menghiasi kegiatan ULMWP tidak pernah bertentangan dengan ajaran Katolik. Gereja bahkan mendorong pemeliharaan identitas budaya sebagai sarana penghayatan iman.

Dalam Evangelii Nuntiandi, Paus Paulus VI menegaskan bahwa Injil harus berinkulturasi: “Injil dan budaya saling memperkaya.”

Dalam Ecclesia in Oceania, Gereja menegaskan pentingnya Melanesianisation sebagai bentuk konkret Gereja lokal.

Maka simbol-simbol perjuangan Papua adalah ekspresi iman, bukan ancaman.


ULMWP sebagai Instrumen Allah bagi Bangsa Papua

Dengan segala tekanan, fitnah, interogasi, penahanan, dan upaya pembubaran, kenyataan bahwa ULMWP tetap berdiri teguh hingga kini adalah bukti bahwa gerakan ini memiliki dasar spiritual yang kuat. ULMWP lahir dari kerinduan bangsa Papua untuk dipulihkan oleh Tuhan; dari panggilan moral untuk sepenuhnya menjadi bangsa yang bermartabat di tanahnya sendiri.

Oleh karena itu, banyak umat Papua mengatakan bahwa ULMWP adalah karya Tuhan. Bukan karena organisasi ini suci tanpa kelemahan, tetapi karena melalui organisasi inilah Tuhan menyalakan kembali pengharapan, menyatukan bangsa yang tercerai-berai, dan menggerakkan perjuangan damai yang setia pada martabat manusia.

Seperti seruan nabi Amos: “Biarlah keadilan bergulung seperti air, dan kebenaran seperti sungai yang mengalir” (Am. 5:24), demikianlah harapan bangsa Papua melalui ULMWP—bahwa suatu hari, keadilan itu akan benar-benar mengalir kembali ke Tanah Papua, sebagai anugerah Tuhan untuk bangsa yang Ia cintai.

Wim Anemeke 

Comments